Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengadakan pertemuan "mendesak" pada hari Selasa (14/2/2023).
Pertemuan ini sebagai tanggapan atas wabah baru virus Marburg yang mematikan di Afrika.
Sembilan orang telah dipastikan meninggal akibat wabah virus yang pertama kali terjadi di Guinea Khatulistiwa.
Terkait hal ini, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI sekaligus Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menjelaskan apa itu penyakit Marburg.
Penyakit Marburg disebabkan virus yang masih satu golongan dengan virus Ebola, yaitu filovirus (Filoridae).
Wabah penyakit ini dulu bermula pada 1967, di Kota Marburg di Jerman serta Belgrade di Serbia.
Penemuan ini bermula dari penelitian pada monyet dari Uganda yang diperiksa di laboratorium di Jerman.
"Jadi ini bukan penyakit baru," ungkapnya pada keterangan resmi, Rabu (15/2/2023).
Baca juga: Waspada Penyebaran Virus Marburg, Simak Cara Pencegahannya Menurut WHO
Angka kematian dari penyakit ini memang tinggi, yaitu berkisar dari 25 sampai 80 persen dan belum ada obat serta vaksinnya.
Gejalanya juga mirip Ebola dan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat, sehingga disebut Marburg Hemorrhagic Fever, mirip dengan nama Ebola Hemorrhagic Fever.
Gejala lain selain demam dari penyakit Marburg ini adalah diare cair hebat, nyeri perut hebat dan kelemahan.
Perdarahan dapat terjadi muntah darah, berak darah, perdarahan dari hidung, mulut dan bahkan vagina.
Selain pada monyet Afrika, African green monkeys, penyakit Marburg juga dihubungkan dengan kelelawar jenis Old World Fruit Bat.
"Sejauh ini potensi menyebar keluar Equatorial Guinea (yang sekarang melaporkan kasus) belumlah besar," kata Prof Tjandra lagi.
Sebelum ini juga sudah beberapa kali ada laporan tentanf penyakit Marburg.
"Juga ketika saya masih bertugas sebagai DirJen di Kemenkes serta sebagai Direktur di WHO. Dan selama ini tidak pernah berkembang luas," tutupnya.