Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penelitian survei Health Collaborative Center (HCC) menemukan tingginya niat atau intensi responden untuk bersikap menyimpan kelebihan makanan pada saat buka puasa dan menjadikannya sebagai menu sahur.
Yang menarik berdasarkan survei itu yang diikuti 2531 responden, mayoritas berkeinginan untuk lebih banyak minum air putih dan atau air mineral dibanding air mengandung gula atau minuman manis.
Peneliti Utama dan Ketua HCC Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK mengatakan, mayoritas responden mengurangi kecenderungan membuang sisa makanan dan mayoritas orang Indonesia yang diwakili oleh responden pada survei ini secara tegas mengatakan sangat setuju untuk menyimpan kelebihan makanan yang biasanya sering terjadi pada saat buka puasa dan mengungkapkan pasti akan dikonsumsi untuk sahur.
"Indeks intensi ini sangat dominan sehingga bisa diinterpretasikan bahwa responden yang berpuasa akan memilih untuk tidak banyak food waste selama puasa," kata Ray dalam paparannya kepada wartawan, Senin (20/3/2023).
Baca juga: Konsumsi Minuman Manis dan Berwarna Secara Berlebihan Dapat Turunkan Fungsi Ginjal
Niat lebih banyak minum air putih dan atau air mineral, kata Ray, menjadi intensi yang baik karena minuman manis atau bersoda dan minuman mengandung gula tinggi dikategorikan sebagai tidak sustainable karena selain mengakibatkan potensi risiko kesehatan juga asupan minuman manis atau mengandung gula tinggi terkait dengan pengolahan yang tidak berkelanjutan juga.
Namun demikian, penelitian survei Health Collaborative Center (HCC) secara umum menunjukkan indeks keinginan berperilaku makan berkelanjutan atau sustainable eating intention index jelang puasa tahun ini cenderung rendah.
Terlihat dari delapan item sustainabile eating yang menjadi standar global, secara total statistik memperlihatkan angka di luar rentang yang bisa dikategorikan sustainable atau berkelanjutan.
“Perilaku yang paling tidak sustainable adalah aspek pilihan jenis dan bahan makanan yang secara mayoritas responden berniat tetap ingin mengonsumsi makanan dari daging, serta diolah dengan minyak olahan.
Menurut konsep pangan berkelanjutan, memang sebaiknya pola konsumsi yang kaya dengan ikan atau nabati dinilai lebih sustainable.
Namun studi kami ini menunjukkan jelang puasa ini masyarakat masih berniat untuk mempertahankan pola dan bentuk makan yang sama bahkan cenderung lebih banyak daging dan olahan dengan minyak”.
Ray yang sering memberi edukasi di Instagram @ray.w.basrowi menyebut ada beberapa aspek kunci yang menyebabkan indeks sustainable eating menjadi rendah.
“Ada korelasi antara ketersediaan dan stok bahan pangan serta akses dan kemampuan membeli bahan pangan dengan total sustainable eating index, dengan kekuatan korelasi sedang. Artinya responden khawatir kalau berniat mengganti kebiasaan makan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan tetapi nanti stok ikan atau sayur atau pangan ramah lingkungan malah tidak bisa tersedia dan bahkan mungkin harga akan lebih mahal saat bulan puasa,” ungkapnya.
Untuk itu, tim peneliti HCC yang diperkuat oleh Research Associate Yoli Faradika ini merekomendasikan pentingnya untuk mengapreseasi beberapa intensi dan sikap positif terkait pola makan berkelanjutan selama bulan puasa ini apalagi studi ini secara metodologi memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi atau confident interval 95 persen dan margin of error rendah (1,95%).
"Sebaliknya beberapa indeks perilaku makan yang cenderung tidak berkelanjutan seperti kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan dengan olahan minyak, harus dimitigasi agar tidak memberi dampak Kesehatan yang tidak baik juga," katanya.