Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Lima organisasi profesi kesehatan serukan aksi damai bersama seluruh tenaga medis di Indonesia untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibuslaw.
Lima organisasi tersebut adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia DR dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT, mengungkapkan tujuan dari aksi damai ini.
Baca juga: Hari Buruh, Pekerja Industri Tembakau Jatim Tolak Pasal Zat Adiktif Tembakau di RUU Kesehatan
"Aksi ini merupakan bentuk keprihatinan para organisasi profesi kesehatan melihat proses pembuatan regulasi yg terburu-buru," ungkap dr Adib pada keterangannnya, Kamis (4/5/2023).
Selain itu Adib mengungkapkan jika pembahasan RUU Kesehatan tidak memperhatikan masukan dari Organisasi profesi yang notebene merupakan pekerja lapangan.
Pihaknya pun mengingatkan pemerintah bahwa masih ada banyak permasalahan kesehatan di lapangan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Di antaranya seperti meningkatkan akses ke layanan kesehatan, meningkatkan kualitas layanan yang diberikan, dan memanfaatkan teknologi.
Adib pun menyampaikan jika pemerintah perlu memperluas akses ke layanan kesehatan di komunitas yang kurang terlayani.
Selama ini akses ke fasilitas kesehatan masih kurang oleh rakyat yang di pedalaman.
Baca juga: Penganiayaan Dokter hingga RUU Kesehatan yang Tak Berpihak, PDGI Imbau Anggotanya Kenakan Pita Hitam
Selain itu para tenaga medis juga kesulitan menjangkau ke wilayah penduduk karena infrastruktur dan keterbatasan sarana.
"H
a-hal seperti inilah yang perlu lebih diperhatikan oleh pemerintah dan para wakil rakyat di parlemen daripada terus menerus membuat undang-undang baru,”tegasnya.
Lebih lanjut, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) DR Harif Fadillah, S.Kp., M.Kep, menyebutkan jika RUU kesehatan berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum bagi tenaga kesehatan dan masyarakat.
"Berpotensi memperlemah peran masyarakat madani dalam iklim demokrasi di Indonesia. Memecah belah organisaai profesi yang mengawal profesionalisme anggota, dan lebih mementingkan tenaga kesehatan asing," tegas dr Harif.
Lima Organisasi Profesi ini sepakat menyuarakan bahwa terlalu banyak tekanan yang diberikan oleh pemerintah terkait pembahasan RUU Kesehatan ini pada para tenaga medis.
Pihaknya pun mengkritisi pengecualian adaptasi terhadap dokter lulusan luar negeri dan pendidikan dokter spesialis secara hospital based dengan syarat hanya perlu dilakukan di RS yang terakreditasi.
Padahal selama ini pendidikan dokter spesialis dilakukan di RS dengan akreditasi tertinggi.
Kedua hal tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkan lahirnya tenaga Kesehatan yang sub standar.
"Bila Hal ini terjadi maka yang dirugikan bukan hanya profesi tapi yang lebih dirugikan adalah Kesehatan masyarakat yang dilayani,” kata Ketua Biro Hukum dan Kerjasama Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), DR Paulus Januar S., drg, MS, CMC.
Peningkatan Akses Layanan untuk Masyarakat dan Kesejahteraan Para Tenaga Medis
Lima Organisasi Profesi medis ini juga mengungkapkan cukup banyak tenaga kesehatan dengan ikatan kerja yang tidak jelas.
Bahkan hingga tidak ada jaminan dalam menjalankan pekerjaan profesinya.
RUU Kesehatan Omnibuslaw disebut tidak memberikan jaminan hukum mengenai kepastian kerja dan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Bahkan juga tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan.
Misalnya saja, kekerasan terhadap dokter internship yang terjadi di Lampung baru-baru ini.
Lalu ada Prof dr Zaenal Mutaqqin, PhD, SpBS(K), dokter spesialis bedah saraf dengan keahlian langka, namun karena sikap kritisnya ternyata dapat dihentikan kontrak kerjanya di RS Karyadi Semarang.
“Ternyata pada RUU Kesehatan tidak melindungi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam mendapatkan kepastian dalam menjalankan pekerjaan profesinya,” tegas dr Mahesa Paranadipa Maikel, MH, Wakil Ketua II, PB IDI.
Tantangan terhadap Akses Pelayanan Kesehatan
Salah satu tantangan utama yang dihadapi sistem kesehatan Indonesia adalah akses terhadap perawatan.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hanya 38 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap layanan kesehatan dasar.
Hal ini sebagian disebabkan kurangnya infrastruktur dan sumber daya di daerah pedesaan, di mana banyak orang Indonesia tinggal.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada perluasan fasilitas dan layanan kesehatan di daerah-daerah tersebut, serta peningkatan pembiayaan untuk kesehatan.
Hal ini diungkapkan oleh Sekjen Ikatan Bidan Indonesia (IBI) DR Ade Jubaedah.
Ada mengungkapkan jika tenaga kesehatan yang bersedia bertugas di tempat-tempat terpencil.
Namun tidak dapat bekerja secara maksimal karena minimnya sarana baik fasilitas kesehatan.
Ditambah akses menuju fasilitas kesehatan yang tidak diperhatikan oleh pemerintah.
"Belum lagi masih tidak jaminan perlindungan dan keselamatan para tenaga kesehatan saat bertugas dari pemerintah setempat dan pusat,” kata Ade.
Kelima organisasi profesi medis ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi yang lebih baik antara berbagai pemangku kepentingan di sektor kesehatan.
Termasuk dengan lembaga pemerintah, organisasi profesi, dan kelompok masyarakat sipil.