News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

50 Persen Penyandang Hemofilia Terlambat Ditangani, Ini Hal-hal yang Harus Diketahui

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hemofilia

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hemofilia atau kelainan pembekuan darah di Indonesia cukup banyak. 

Data resmi tahun 2021 terdapat 27.636 kasus. Namun sayangnya sulitnya akses kesehatan membuat pasien kerap datang dalam kondisi terlambat dan berisiko disabilitas hingga kematian. 

Dokter spesialis anak konsultan hematologi onkologi, Dr dr Novie Amelia Chozie SpA(K), mengatakan, di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), setiap bulannya ada 2 hingga 3 kasus baru. 

"Sebanyak 50 persennya datang dalam kondisi terlambat, sudah komplikasi usai adanya pendarahan otot yang akhirnya menjepit saraf atau pendarahan sendi yang berulang yang mengakibatkan sendi mengalami kerusakan atau artropati hemofilik,” kata dr Novie, Rabu (31/05/2023). 

Penanganan kasus hemofilia memang masih menghadapi berbagai tantangan terutama di negara berkembang seperti Indonesia. 

Hemofilia masih jarang mendapatkan perhatian yamg dibuktikan dari 27.636  kasus pada 2021, hanya 2.425 pasien yang terdiagnosa hemofolia A dan mendapat perawatan. 

Penyakit ini juga berbiaya mahal. 

Baca juga: Pakar Kesehatan Mendukung Penerapan Terapi Profilaksis Hemofilia, Ini Alasannya

Dari data BPJS Kesehatan pada 2020, hemofilia merupakan penyakit keenam terbesar dalam klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
 
Gejala hemofilia biasanya muncul pada anak laki-laki yang memiliki ibu carier atau pembawa. Penyebab hemofilia adalah kekurangan faktor pembeku darah dalam plasma darah. 

Ada tiga derajat tingkat keparahan hemofilia, yakni ringan (kadar faktor pembekuan darah 5-40 persen), sedang (kadar faktor pembekuan darah 1-5 persen), dan berat (kadar faktor pembekuan darah 1 persen). 

Pada keadaan berat, pendarahan dalam otot dapat terjadi meski tidak ada sebab. 

"Sejauh ini belum ada skrining khusus untuk melihat apakah memiliki hemofilia atau tidak," ujar Novie. 

Menurut dr Novie, sejauh ini yang dilakukan adalah skrining melalui riwayat keluarga yang sering mengalami perdarahan. Bisa juga dengan mengamati kondisi anak yang mudah terluka. 

“Jika di sekitar kita ada bayi atau balita laki-laki, mudah memar, dan sendi besar (lutut dan siku) bengkak, segera dikonsultasikan ke dokter,” katanya. 

Sejauh ini banyak pasien dengan hemofilia berat yang datang ke dokter dalam kondisi sendi bengkak. 

dr. Novie mewanti-wanti apabila anak sudah terdiagnosa sejak dini, diharapkan orang tua memberikan ruang yang aman bagi pergerakan anak. 

Sebab pada pasien hemofilia, benturan atau trauma ringan saja dapat menyebabkan pendarahan dalam ototnya. 

“Dalam penemuan kasus atau diagnosis dan pengobatan hemofilia di Indonesia terdapat beberapa masalah,” kata konsultan hematologi onkologi anak tersebut. 

Pada tahap diagnosis, tidak banyak rumah sakit rujukan di provinsi yang dapat melakukan pemeriksaan faktor pembekuan. 

Hal ini dikarenakan belum banyaknya dokter sub-spesialis bagian hematologi anak maupun dewasa di Indonesia. 

Lalu saat pengobatan, karena obat yang digunakan bersifat khusus, maka pemberiannya harus dikonsultasikan dari spesialis anak atau spesialis penyakit dalam kepada sub-spesialis hematologi. 

Menurut dr Novie, di luar negeri terutama negara maju, kasus hemofilia jarang yang sampai menyebabkan komplikasi dan mortalitas. 

Sebab infrastruktur kesehatannya telah mendukung untuk penanganan hemofilia sejak dini. 

“Di sini kami memiliki panduan yang baru agar pengobatannya tidak berbasis sudah muncul gejala yang berat baru diobati, tapi berusaha dicegah,” ungkapnya.   

dr. Novie menegaskan pentingnya pendidikan dan pemberdayaan individu terkait hemofilia, keluarga mereka, dan penyedia layanan kesehatan tentang manajemen perdarahan akut. 

Tujuannya untuk intervensi tepat waktu dan mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan. 

“Harus banyak pihak yang terus mengingatkan pentingnya hal ini,” katanya. 

Vice President & General Manager Novo Nordisk Indonesia, Sreerekha Sreenivasan mengatakan perlunya memberdayakan orang dengan hemofilia sehingga mereka bisa hidup tanpa batasan. 

“Mereka kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan yang mereka sukai dan mencapai potensi mereka sepenuhnya," katanya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini