TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat RUU Kesehatan mengemuka jadi polemik, seolah ada 'perang' antara organisasi profesi kesehatan dengan pemangku jabatan dalam ini Menteri Kesehatan (Menkes).
Menkes Budi Gunadi Sadikin disebut otoriter dan 'anti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena dianggap terburu-buru dan sangat bernafsu mengesahkan RUU Kesehatan.
Baca juga: Menkes Budi Menolak Disebut Anti IDI Gara-gara RUU Kesehatan, Bongkar Alasannya: Demi Masyarakat
Saat tudingan ini menghampirinya, Menkes Budi Gunadi Sadikin menegaskan penolakan dan menyebut tuduhan itu tak benar.
Lantas, apa hubungannya dengan pembahasan RUU Kesehatan?
Simak penuturan Menkes Budi yang dikutip dari obrolannya dengan Rosi Silalahi KompasTV.
Menkes Budi Bongkar Alasan Organisasi Profesi Tak Setuju RUU Kesehatan
Menkes pertama yang bukan berlatar belakang dokter ini menjelaskan bahwa sebenarnya dirinya hanya peduli pada kepentingan masyarakat.
Menkes Budi Gunadi Sadikin pun membongkar mengapa banyak organisasi profesi kesehatan yang tidak setuju dengan RUU Kesehatan.
Baca juga: Diterima Audiensi dengan DPR, Pekerja Rokok Suarakan Tuntutan Soal Pasal Tembakau di RUU Kesehatan
Ini karena rekomendasi dokter tidak lagi dibutuhkan bagi dokter untuk bisa melakukan praktik dan mengambil spesialisasi.
Sebelumnya, pembentukan RUU Kesehatan dinilai tidak transparan karena dianggap tidak melibatkan berbagai pemangku kepentingan, serta minim partisipasi dari kelompok profesi di bidang kesehatan.
Banyak organisasi profesi kesehatan yang tidak setuju dengan RUU ini, karena dianggap ingin melemahkan bahkan menghilangkan rekomendasi bagi dokter untuk bisa melakukan praktik atau mengambil spesialisasi.
Budi Gunadi membantah hal ini, sebab sebelumnya beberapa kali telah dilakukan sosialisasi dan public hearing dengan sejumlah pihak.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan RUU Kesehatan diperlukan sebagai awal perubahan baik bagi masyarakat.
Menkes Bud: Saya Bukan Anti IDI
Budi Gunadi kemudian menegaskan bahwa dirinya bukan anti IDI, ia hanya melihat kebutuhan kesehatan masyarakat yang seharusnya terpenuhi.
Baca juga: Penjelasan Dokter Spesialis Gizi Soal Mentimun yang Dipercaya Ampuh Turunkan Kolesterol
Menurutnya, masyarakat harus memperoleh akses yang mudah dalam mendapatkan layanan kesehatan yang memadai, termasuk dokter yang berkualitas dan tersebar merata pada tiap daerah.
"Jadi saya bukan anti IDI atau nggak, saya melihat masyarakat perlu akses dokter yang lebih mudah, lebih banyak, lebih berkualitas. Ya semua yang menghambat, kita buka buat masyarakat," pungkas Budi Gunadi.
Dokter Spesialis Minim, Rekomendasi Organisasi Profesi Jadi Ganjalan
Saat ini masih banyak masyarakat yang sulit dalam mengakses layanan kesehatan, khususnya mereka yang membutuhkan penanganan Dokter Spesialis.
Ia mencontohkan, kematian terbesar di Indonesia akibat stroke, jantung, dan kanker.
Ketika faktanya, penyakit mematikan itu semakin banyak, layanan kesehatan yang optimal masih terkendala minimnya dokter dan tenaga kesehatan yang jumlahnya memadai.
Baca juga: Apakah Wajar Jika Anak laki-laki Suka Warna Pink? Dokter Spesialis Anak Beri Penjelasan
Budi Gunadi menuturkan bahwa yang terjadi saat ini, banyak dokter muda yang sulit untuk bisa membuka praktik di daerah.
Padahal banyak daerah yang kini minim tenaga kesehatan (nakes).
"Yang terjadi di masyarakat adalah susah untuk dokter-dokter muda masuk ke satu daerah punya praktik," jelas Budi Gunadi, dalam tayangan ROSI di Kompas TV yang dikutip Tribunnews, Minggu (18/6/2023).
Ia pun bertanya mengenai alasan mengapa para dokter muda ini sulit untuk menjalankan tugasnya di daerah.
Hal itu karena izin praktik mereka tidak keluar dan izin itu hanya bisa terbit jika mendapatkan rekomendasi dari 'seniornya'.
Budi Gunadi pun menyebut kendala ini secara massive terjadi pada para dokter muda ini.
"Aku tanya kenapa 'karena izin praktiknya tidak keluar'. Susah kita masuk ke rumah sakit kalau tidak dapat rekomendasi praktik dari 'seniornya', saya nggak bilang (IDI), ini mungkin oknum ya, tapi massively (secara massive) ini terjadi," tegas Budi Gunadi.
Saat ditanya alasan mengapa banyak fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang mengalami kekurangan dokter, ia menekankan bahwa salah satu penyebabnya adalah pendistribusian nakes yang tidak merata.
"Distribusinya itu tidak merata, salah satunya penyebabnya (rekomendasi) ini," kata Budi Gunadi.
Dirinya menambahkan bahwa banyak masyarakat yang mengeluhkan antrean panjang demi mendapatkan layanan kesehatan.
Ini karena jumlah dokter yang praktik tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
"Banyak masyarakat yang bilang antrean dokter panjangnya minta ampun, banyak saya dengar dari orang-orang, itu artinya apa? Artinya kan dokternya kurang," papar Budi Gunadi.
Namun mirisnya, di tengah kendala ini, kata dia, banyak dokter muda yang tidak bisa praktik karena tidak memperoleh rekomendasi.
"Tapi kemudian izinnya tidak keluar, aku tanya 'kenapa nggak keluar?', (salah satu dokter bilang) 'Pak, saya nggak bisa masuk (fasyankes) karena tidak ada rekomendasi'," tutur Budi Gunadi.
Wamenkes Pun Rasakan Sulitnya Mengurus Izin Praktik Spesialis
Sekitar Maret 2023 lalu, Kementerian Kesehatan menyatakan, akan menyusun transformasi dalam RUU Kesehatan dengan membuat simplifikasi aturan-aturan praktek yang tadinya berbelit-belit.
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Prof Dante Saksono Harbuwono mengatakan, dirinya sendiri merasakan proses urus izin praktik dokter spesialis belum mudah.
"Saya tadi sedang mengobrol di ruang lounge, saya sampaikan, bahwa saya barusan urus surat izin praktek. Surat izin praktek saya tuh akhirnya butuh Rp 6 juta, Rp 6 juta untuk satu dokter spesialis," ujarnya dalam "Forum Industri tentang RUU Kesehatan" di kawasan Rasuna Said, Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Lebih lanjut, Dante menilai, besaran angka tersebut bisa mencapai Rp 500 miliar jika setiap dokter spesialis keluarkan Rp 6 juta untuk surat izin praktik.
"Bayangkan kalau ada 77 ribu orang dokter spesialis, maka hampir setengah triliun rupiah untuk perizinan saja di dokter spesialis," katanya.
Dia menambahkan, hal ini harus direformasi dan diubah, sehingga untuk mengurus perpanjangan surat izin praktek menjadi lebih mudah.
"Bagaimana caranya? Caranya mengembalikan tugas dan fungsi tersebut kepada pemerintah karena selama ini yang membuat sistem ini menjadi sulit adalah banyaknya rekomendasi yang diharuskan dan didapatkan oleh dokter-dokter tersebut untuk mendapatkan surat izin praktek. Ini akan butuh layanan transformasi dan tentu saja kalau setengah triliun biaya operasional yang keluar untuk surat izin praktek, banyak orang berteriak pada rancangan undang-undang ini," pungkas Dante.
(Tribunnews/Anita K WardhanuFitri Wulandari/Yanuar Riezqi Yovanda) (Kompas Tv)