Bergeser ke Eropa Utara, Denmark juga menjadi negara yang sudah melarang penggunaan BPA sejak 2010, terutama pada botol bayi dan tempat makanan anak-anak, karena keprihatinan pada potensi efek negatif terhadap kesehatan anak-anak.
Kemudian salah satu negara di Samudera Pasifik, Selandia Baru juga sudah melarang penggunaan BPA sejak 2011. Negara tetangga Australia itu mengambil langkah ini setelah penelitian yang dilakukan menunjukkan paparan BPA bisa berefek negatif pada perkembangan otak, gangguan hormon dan risiko kanker pada ibu hamil dan juga anak-anak.
Di Asia sendiri, tidak perlu jauh-jauh, negara tetangga Indonesia yakni Malaysia ternyata juga sudah melarang penggunaan BPA pada botol bayi dan peralatan makan anak-anak sejak 2012 lalu. Malaysia melarang penggunaan BPA ini berdasarkan pada bukti ilmiah yang menjelaskan hubungan antara paparan BPA dan gangguan hormonal serta risiko kesehatan ke depannya.
Indonesia sendiri belum ada regulasi soal label BPA
Tidak hanya Malaysia, negara-negara Asia lainnya, seperti Filipina, Singapura dan China pun sudah memiliki regulasi khusus penggunaan BPA pada produk kemasan pangan terutama bagi ibu hamil dan anak-anak.
Sementara di Indonesia sendiri, masih belum ada regulasi yang mengatur secara khusus pelabelan BPA pada produk kemasan pangan. Masyarakat tentu menunggu ketegasan pemerintah, guna menyelamatkan generasi mendatang dari ledakan bencana kesehatan jika memang penggunaan BPA berefek negatif.
Namun, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bukannya tutup mata pada potensi bahaya penggunaan BPA pada kemasan minuman dan makanan. Upaya pengembangan bahan alternatif yang lebih aman juga terus dilakukan.
Baca juga: Paparan BPA Ancam Kesehatan Bayi, Dokter PDUI: Sebisa Mungkin ‘BPA Free’
“BPA bisa memicu berbagai masalah kesehatan otak dan kelenjar prostat pada bayi dan anak, selain juga dipercaya bisa memicu perubahan perilaku anak," kata Cucu Cakrawati Kosim, Pelaksana Harian Direktur Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, dalam keterangan tertulisnya.
Cucu Cakrawati Kosim juga mengatakan sejumlah penelitian terbaru juga menunjukkan BPA pada kemasan dapat terurai dan masuk ke dalam produk pangan. Hal ini juga dikonfirmasi oleh ahli dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar, Anwar Daud di kesempatan berbeda.
Anwar Daud memaparkan sejumlah studi biomonitoring yang menunjukkan paparan BPA melebihi ambang batas telah berdampak negatif pada kesehatan manusia.
"Sebagai contoh, beberapa studi epidemiologi melaporkan peningkatan kadar urin yang berhubungan dengan obesitas, gangguan kesuburan, dan penyakit kardiovaskular," kata Anwar dalam keterangannya.
Lebih lanjut Anwar mengatakan, sebagai xenoestrogen (tipe senyawa kimia yang mengimitasi estrogen-hormon seksual yang berperan dalam perkembangan sistem reproduksi dan karakter seks sekunder), BPA menjadi fokus perhatian para ahli terkait perkembangan sejumlah penyakit.
"Beberapa studi epidemiologi melaporkan bahwa peningkatan kadar BPA pada urin, berhubungan dengan obesitas, gangguan kesuburan, dan penyakit kardiovaskular. Paparan BPA juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker," pungkasnya.