TRIBUNNEWS.COM - Puas terhadap layanan kesehatan yang pernah diterima merupakan salah satu faktor yang mendorong peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mau membayar iuran secara rutin.
Demikian hasil penelitian Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan Universitas Gadjah Mada (KP-MAK UGM) yang dilakukan terhadap 4.059 peserta JKN segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas 1, 2, dan 3 di 15 kabupaten/kota yang tersebar di 14 provinsi Indonesia.
“Ini menunjukkan bahwa masyarakat yang telah merasakan layanan JKN, menyadari betapa pentingnya program ini sehingga perlu dijaga sustainabilitasnya, salah satunya dengan rutin membayar iuran. Mereka menyadari bahwa Program JKN telah menyelamatkan masyarakat dari beban finansial akibat biaya pelayanan kesehatan saat sakit. BPJS Kesehatan sendiri terus berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan performa pengelolaan Program JKN melalui transformasi mutu layanan menjadi lebih mudah, cepat, dan setara,” ujar Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby.
Dari hasil penelitian serupa, faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan peserta JKN segmen PBPU membayar iuran adalah mempunyai anggota keluarga yang menyandang penyakit katastropik, pernah mengakses layanan kesehatan, serta ingin menghindari risiko mengeluarkan biaya lebih saat butuh berobat (risk adverse).
Kolektibilitas iuran peserta JKN segmen PBPU tercatat mengalami lonjakan tajam, yaitu dari 78,18 persen pada tahun 2021 menjadi 91,61% pada tahun 2022. Meski demikian, menurut Mahlil, isu kolektibilitas iuran peserta JKN segmen PBPU menjadi tantangan tersendiri yang memerlukan penanganan strategis.
Baca juga: BPJS Kesehatan Percepat Capaian UHC Melalui Program JKN, Komite III DPD RI Beri Apresiasi
“Sebesar 45% dari populasi Indonesia adalah aspiring middle class. Kelompok ini telah bebas dari kemiskinan namun belum 100% memiliki jaminan kemanan ekonomi, sehingga kelompok ini sangat rentan untuk kembali jatuh miskin ketika ada guncangan. Maka dari itu, selain menguatkan langkah-langkah strategis yang sudah kita jalankan saat ini, perlu kita pikirkan juga ide-ide inovatif seperti memanfaatkan cukai rokok, mekanisme sharing iuran dengan pemerintah, crowdfunding, dan lain sebagainya,” kata Mahlil.
Sementara itu, peneliti Pusat KP-MAK UGM, dr. Syamsu Hidayat membeberkan beberapa alasan peserta JKN segmen PBPU yang menjadi responden, tidak membayar iuran. Menurutnya, alasan terbesar adalah karena tidak memiliki pendapatan menentu. Alasan lainnya yaitu lupa membayar iuran, malas mengantre, hingga kesulitan akses membayar.
“Hal ini perlu menjadi evaluasi mengingat nyatanya BPJS Kesehatan sudah banyak menyediakan program untuk memudahkan peserta membayar iuran JKN, mulai dari menyediakan layanan autodebit, lebih dari 950 ribu akses layanan pembayaran iuran, hingga layanan telecollecting untuk mengingatkan peserta membayar iuran,” katanya.
Syamsu juga mengatakan bahwa tantangan kolektibilitas iuran JKN segmen PBPU juga datang dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Meski pemerintah daerah berkomitmen untuk memberikan kepastian jaminan kesehatan bagi warga miskin, namun dengan adanya pasal di UU Kesehatan yang mengatur mandatory pending 5% dihapus dari APBN, maka akan berpengaruh terhadap program strategis dan prioritas di daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan pembiayaan kesehatan, termasuk dalam subsidi iuran JKN.
Baca juga: BPJS Kesehatan Apresiasi Upaya Pemprov Sumsel Luncurkan Program Berobat Pakai KTP