dr. Naomi mengatakan, salah satu faktor terbesar yang membuat ibu terpaksa menghentikan pemberian ASI pada bayi adalah karena ibu harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan selesai.
Karena itu, perlu dukungan yang besar untuk ibu agar bisa menyusui anaknya secara maksimal, dimana dukungan terbesar diharapkan didapat dari tempat kerja.
Dengan keterbatasan dukungan menyusui di tempat kerja, kata Naomi, membuat banyak ibu berhenti menyusui lebih awal. Padahal, wanita membutuhkan waktu dan dukungan cukup dari lingkungannya agar bisa tetap menyusui dengan optimal.
"Cuti yang cuma 3 bulan itu bisa berakibat tingkat ibu menyusui rendah. Ibu yang kembali bekerja terlalu dini dapat memberikan efek negatif terhadap berlangsungnya masa menyusui. Hal ini tentu membuat ibu tidak bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan," ujarnya.
Selain memberikan cuti yang lebih baik, dr Naomi juga mendorong perusahaan untuk bisa menyediakan ruang laktasi yang memadai. Dengan begitu ibu bisa menyusui atau memompa ASI dengan nyaman dan aman.
Dukungan itu tidak hanya waktu atau jeda bekerja untuk memompa ASI, dukungan bisa berupa penyediaan ruangan laktasi untuk menyusui atau untuk memompa ASI. Dukungan fasilitas tersebut, harus bersih, nyaman, aman, dan private untuk ibu.
Berdasarkan data studi kualitatif terkait implementasi kebijakan ramah menyusui di pabrik, kesuksesan dukungan program laktasi di tempat kerja terutama pabrik di Indonesia memang masih rendah dan hanya mencakup standar penyediaan ruang laktasi minimal tanpa ada dukungan fasilitas pendamping apalagi dukungan program dan promosi laktasi.
Meskipun demikian, studi narrative review yang dipublikasikan di The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) tahun 2022 menunjukkan bahwa dukungan kebijakan ramah laktasi di perkantoran sudah meningkat signifikan, bahkan di beberapa perkantoran multinasional tercatat adanya dukungan cuti melahirkan hingga 6 bulan serta keberadaan konselor laktasi di tempat kerja yang sudah menjadi standar aturan ketenagakerjaan bagi seluruh karyawan.
Selain kedua tantangan di atas, tantangan lain adalah masih kurangnya bukti ilmiah yang mendukung bahwa dukungan fasilitas, kebijakan dan promosi laktasi di tempat kerja adalah investasi dan bukan cost atau pembiayaan. Hal ini disampaikan oleh Dr. dr. Ray W Basrowi, MKK - praktisi kesehatan komunitas dan kedokteran kerja dari Health Collaborative Center.
“Salah satu faktor penting di Indonesia dalam melindungi pemberian ASI Eksklusif adalah terkait kebijakan-kebijakan perlindungan ASI Eksklusif di lingkungan kerja,” ujar Ray.
Mengutip expert judgement di editorial The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) edisi 2023, dr. Ray menegaskan bahwa bukti klinis terkait dampak dukungan laktasi terhadap produktivitas pekerja sebenarnya telah tersedia tetapi belum diedukasikan dengan optimal ke perusahaan, sehingga diperlukan suatu pedoman sederhana untuk meyakinkan tempat kerja bahwa investasi laktasi di perusahaan akan memberikan return of investment.
Meskipun peraturan dukungan untuk ibu menyusui masih membutuhkan penguatan, beberapa perusahaan telah melakukan inisiatif untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Contohnya perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA).
“APPNIA menyadari pentingnya manfaat ASI Eksklusif dan dan nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan, serta mendukung ibu, khususnya yang bekerja, agar dapat memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayinya," ucap Poppy Kumala, Direktur Eksekutif APPNIA dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Anggota APPNIA terus memperkuat kebijakan dan melakukan berbagai program memastikan hak-hak karyawan dan anak terpenuhi, agar orangtua baru dapat membersamai bayinya melalui pemberian cuti melahirkan berbayar selama 3 bulan sesuai aturan.