Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Setiap akhir bulan Februari diperingati sebagai Hari Penyakit Langka Sedunia.
Sayangnya di Indonesia, jumlah penyakit langka yang terdiagnosa masih rendah, baru berada di angka 70 sampai 80 diagnosa.
Hal ini terjadi akibat keterbatasan akses serta kurangnya kesadartahuan masyarakat tentang pentingnya diagnosa penyakit langka untuk menyelamatkan hidup para odalangka (oramg dengan penyakit langka).
Dokter Spesialis Anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dr Cut Nurul Hafifah memaparkan, butuh proses yang cukup panjang untuk mengetahui secara tepat penyakit tersebut. Dari penelitian di RSCM, penyakit langka bisa ditemukan mulai dari 0-140 bulan.
"Setiap orangtua yang anaknya memiliki anak dengan penyakit langka, rata-rata harus mengunjungi 12 kali dokter, dimana 90 persen pasti mengalami satu kali salah diagnosis," ungkap dia dalam kegiatan di Jakarta, Minggu (10/3/2024).
Selain itu, baru ada 30 persen obat yang bisa mengobati penyakit langka, sementara kini ada lebih dari 10 ribu penyakit langka di dunia dan diprediksi meningkat menjadi 15 ribu pada 5 tahun kedepan.
"Hanya ada 5 persen penyakit langka yang bisa disembuhkan dengan pengobatannya yang murah hingga mahal. Bahkan ada yang butuh 6 milir per tahun, sementara seseorang itu butuh pengobatannya seumur hidup," jelas Dr Cut.
Dalam rangka peringatan Hari Penyakit Langka Sedunia, GSI melalui program sosial Batik Pelangi berkomitmen untuk mendukung percepatan penegakan diagnosa penyakit langka di Indonesia.
Batik Pelangi, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya diagnosis penyakit langka, serta mendukung penyingkatan rantai Diagnosis Odyssey atau perjalanan panjang pengindap penyakit langka melalui metode Next Generation Sequencing yaitu tes Whole Exome Sequencing (WES).
Sejak 10 bulan lalu diluncurkan, dengan donasi berbagai pihak, Batik Pelangi telah membantu 16 pasien melakukan tes WES secara gratis.
Beberapa sindrom yang ditemukan adalah Sotos Syndrome, Baraitser-Winter Syndrome, Rubinstein-Taybi syndrome, Rett Syndrome, LQTS, dan Adrenoleukodistrofi.
Harapannya dengan Batik Pelangi dapat membuka wadah gotong royong dari berbagai pihak untuk bisa bersama-sama bahu membahu memberikan bantuan lebih besar.
Diharapkan melalui tes dan temuan ini, penegakan diagnosa penyakit langka di Indonesia dapat lebih masif lagi.
"Semakin kita bersama mendukung visi ini, lebih banyak makna, kesehatan jiwa dan kualitas hidup untuk pasien dan keluarga (pasien) penyakit langka." ujar Konselor Genome lab GSI dr. Zoya Marie Adyasa, M. Res.