Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) tengah menggodok regulasi atau pertaturan pembatasan penggunaan lemak trans.
Lemak trans atau asam lemak trans adalah asam lemak tak jenuh yang berasal dari sumber alami atau industri.
Konsentrasi lemak trans tertinggi terdapat pada campuran margarin dan mentega, yaitu 10 kali lebih tinggi dari batas yang direkomendasikan WHO.
Lalu, apa bahaya lemak trans?
Konsumsi lemak trans secara signifikan dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan berkontribusi terhadap sekitar 500.000 kematian akibat penyakit jantung koroner secara global setiap tahunnya.
Baca juga: 5 Mitos Penyakit Asma, Mulai dari Larangan Olahraga Hingga Dianggap Penyakit Menular
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes mengatakan, selain penyakir jantung, lemak trans juga menyebabkan kanker payudara, risiko preeklamsia atau memperpendek masa kehamilan dengan risiko keguguran.
Kemudian juga gangguan sistem saraf, kanker usus besar, diabetes, obesitas dan alergi.
"Jadi, sebenarnya bukan hanya jantung. Ada kaitannya dengan kanker kolorektal itu nomor dua pada laki-laki. Artinya
sumbangsih (lemak trans) erhadap penyakit tidak menular itu sangat besar," kata dia dalam kegiatan WHO yang disiarkan via daring, Senin (6/5/2024).
Selain konsumsi lemak trans dalam jumlah tinggi, gaya hidup orang Indonesia juga makin memperbesar terserang penyakit tidak menular tersebur.
Melihat data bahwa onsumsi lemak di kalangan masyarakat Indonesia ini mencapai 26 persen - 27 persen atau melebih standar yang ada.
"Sudah konsumsi lemak tinggi banyak juga yang kurang aktivitas fisik untuk bisa memecahkan lemak. Lalu kurang konsumsi buah dan sayur yang sebagai serat untuk bisa melancarkan pembuluh darah," urai dia.
Baca juga: Olahraga Malam Hari Jadi Penyebab Serangan Jantung Hanya Mitos, Ini Penjelasan Dokter
Dari data yang ada juga memperlihatkan bahwa 95,5 persen orang Indonesia malas makan buah dan sayur.
"Sebanyak 95,5 persen masyarakat Indonesia itu kurang makan buah dan sayur, kemudian ada sekitar 33,5 persen kurang aktivitas fisik dan tadi konsumsi lemaknya sendiri sekitar 26,7 persen," jelas dia.
WHO merekomendasikan kadar lemak trans dalam pangan kurang dari 2 gram per 100 gram total lemak.
Kadar lemak trans yang tinggi juga terdapat pada produk makanan ringan yang populer dan banyak dikonsumsi, seperti biskuit, wafer, produk roti, dan jajanan kaki lima seperti martabak.
Apa yang Dimaksud Lemak Trans?
Lemak trans merupakan salah satu jenis lemak jenuh.
Lemak ini secara alami dapat ditemukan dalam jumlah kecil pada daging sapi, kambing, dan produk dairy, seperti susu atau keju.
Namun, saat ini industri pangan banyak memproduksi lemak trans buatan dengan cara menambahkan zat hidrogen pada minyak sayur atau minyak goreng.
Baca juga: Menjaga Kesehatan Anak dengan Austisme melalui Aktivitas Fisik