"Tapi kami melihat banyak sekali ketidakadilan. Perjanjian pandemi ini untuk kepentingan siapa?
Selalu negara-nwgara miskin dan negara berkembang yang mendapat manfaat terakhir dari kerjasama penanganan pandemi."
"Sementara perusahaan perusahaan private dan negara maju jadi yang paling banyak diuntungkan. Semakin banyak obat/vaksin yang berhasil dipasarkan, negara maju juga banyak mendapatkan pajaknya," bebernya.
Dia menyebutkan, berdasar pengalaman, negara negara Afrika selama ini sulit mendapatkan vaksin saat pandemi Covid.
"Indonesia mengklaim memiliki equity dari perjanjian ini tapi tidak dibuka ke publik keuntungan apa yang akan didapat Indonesia," sebutnya.
"Yang juga kita soroti adalah bagaimana dengan masyarakat. Jangan sampai ketidakadilan antar negara merugikan masyarakat Indonesia," imbuhnya.
"Perjanjian apapun yang menyangkut harkat orang banyak, seperti pembahasan pandemic agreement yang sekarang dibahas di WHO sebaiknya isinya juga bisa diketahui masyarakat luas.
Agung Prakoso - Indonesia for Global Justice (IGJ) mengatakan, selama ini lembaganya concern pada perjanjian perdagangan bebas terutama menyangkut hak atas kekayaan intelektual yang menyebabkan harga obat yang dijual oleh perusahaan farmasi pemegang hak paten menjadi mahal.
"Mereka (perusahaan farmasi global) berhak menentukan harga dan volume pasokannya. Tren ini terjadi sejak WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) berdiri. Kita merasakan sulitnya mendapatkan vaksin di awal pandemi," ujar Agung.
"Kita juga menghadapi sulit akses mendapatkan masker yang asli karena hak paten produksi masker bagus diproduksi oleh 3M. Di marketplace sampai sekarang harganya masih mahal, Rp 20 ribu per buah," sebutnya.
Dia juga memaparkan, sampai tahun 2021 masyarakat di Afrika yang sudah mendapatkan vaksin Covid baru 5 persen, itu pun terjadi di negara-negara kaya di Afrika.
"Karena itu, kami mendorong diabaikannya penggunaan hak paten saat terjadi kondisi urgent dalam penanganan pandemi ke WTO. Tapi proposal advokasi kami ini ditolak oleh perusahaan perusahaan farmasi pemegang hak paten," ungkap Agung.
Aditya menambahkan, Indonesia membutuhkan perjanjian penanganan pandemi. Tapi harus benar-benar menjunjung tinggi keadilan. "Tidak boleh didasarkan pada mereka yang memiliki uang dan sumber daya," tegasnya.
Aditya menekankan, karena memiliki jumlah penduduk tinggi, negara negara seperti Indonesia, India, berhak mendapatkan manfaat yang tinggi pula, karena berkontribusi besar dalam pengumpulan jumlah genom.
"Indonesia harus lebih jeli dalam menghadapi perundingan ini di WHO. Kita minta Pemerintah RI membuka ruang bagi partisipasi publik dalam proses negosiasi di WHO saat ini agar penanganan kebencanaan terhadap pandemi bisa memberikan manfaat luas bagi masyarakat," kata dia.