TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seperti kesepakatan ketika awal-awal Republik ini berdiri bahwa yang menjadi dasar negara adalah Pancasila. Bahkan hingga kini tetap kukuh dipertahankan dan jaga kesakralannya karena sudah dianggap sebagai alat pemersatu bangsa.
Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya untuk dihafal dan di ingat, tetapi nilai-nilainya perlu diamalkan dan diterapkan dalam keseharian kita bermasyarakat dan bernegara.
Nun jauh di belahan timur Indonesia, tepatnya di desa Elara yang berada di sebuah pulai kecil bernama Ambalau, Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku, sesungguhnya masayarakatnya benar-benar sudah mengamalkan dari butir-butir Panca Sila. Hal ini dikisahkan oleh A Bayu Putra, Ketua Umum BP Institute.
"Sebelum sampai ke tatanan keseharian masyarakat, saya ceritakan dulu kekaguman perjalanan saya dari kota ambon menuju Pulau Ambalu. Perjalanan dari Ambon saya tempuh selama 6 jam dengan menaiki kapal cepat Elisabeth. Begitu turun kapal perasaan saya sedikit bergetar, air sebening kaca dan ikan-ikan sangat banyak jauh dari kontaminasi. Sesekali terlihat batuan andesit berpadu dengan jernih nya air laut. Ini sungguh pemandangan yang menakjubkan buat saya. Apalagi terlihat juga binatang langka seperti Penyu yang tidak takut dengan kehadiran saya," jelas Bayu di Jakarta pada Senin, (25/01/2020).
Selanjutnya Bayu menambahkan bahwa ia banyak mendengar cerita dari masyarakat setempat tentang adat istiadat yang ada di pulau ini.
"Selama seminggu saya tinggal disana, banyak diceritakan tentang adat istiadat, dan kehidupan sosial masyarakat pulau ini. Disini saya seperti belajar lagi tentang Pancasila dan diingatkan lagi tentang hubungan manusia sebagai bagian dari bumi," tambah Bayu.
Kebiasaan atau keseharian adat istiadat masyarakat di sini memenga menjadikan Bayu terkesan. Banyak hal yang menjadi pengalaman luar biasa dan berkesan baginya, terutama bingkai-bingkai adat yang mengikat kehidupan masyarakat disana seperti Sasi dan Moshi. lalu apa Sashi dan Moshi itu?, Bayu kembali menjelaskan.
"Sasi adalah keputusan dari tetua adat untuk menutup hal hal yang dianggap sudah tidak seimbang, contohnya di Tanjung Leana tempat saya tinggal kena SASI untuk tidak mengambil pasir putih, di desa Siwar ada sasi untuk mengambil kelapa, desa Masawoi sasi menangkap lobster,bia dan teripang.Di desa Lumoi menerapkan sasi pala dan cengkeh untuk waktu tertentu sehingga kualitasnya akan terjamin,sasi itu juga mengikat dengan pembelinya dimana Pengepul dilarang membeli di dalam sasi tersebut," jelas Bayu lagi.
Selain Sasi ada juga Mosi, lalau apa makna dari Mosi itu, Bayu melanjutkan penjelasannya.
"Di pulau ini semua dilakukan bersama sama atau gotong royong dalam bahasa sini masohi, dan yang sangat membuat saya ternganga adalah pembuatan kebun. Disini hama utama kebun adalah babi hutan yang sangat banyak, walaupun terkadang ada dari pulau buru atau pulau2 yg lain yg beragama kristen pergi berburu disini tetapi tetap populasi babi sangat luar biasa banyak," jelas Bayu lebih lanjut.
Hal unik dan luar biasa yang dilakukan masyarakat di sana untuk mengatasi hama tersebut penduduk desa memilih membuat ladang mereka dipagar oleh tembok setinggi 1,5 - 2 m. Sementara ladang mereka sangat luas-luas, jadi menurut kesan Bayu seakan melihat tembok China di gunung2.
hal lain yang menjadi kekaguman bayu, bagaimana mereka bisa membangun itu. Ternyata kuncinya adalah dikerjakan bersama karena mereka menganggap setiap kebun yg berdiri berarti tambah lagi lahan bersama yg bisa di olah. Gotong royong yang sangat membutuhkan komitment dan kerja keras.
Tak hanya soal adat istiadat dan hubungan manusia dengan alam saja yang menjadi kesan bayu selama mengunjungi pulau Ambalu ini. Ia juga mngagumi bagai mana masyarakat setempat melakukan hubungan dengan Tuhannya serta bagaimana bertoleransi.
Di pulau ini membuat masjid yang besar dan indah merupakan impian dan tujuan bersama, sehingga banyak sekali usaha2 dari penduduk dengan tujuan tersebut seperti iuran, sasi dan banyak lagi dan yang paling utama adalah gotong royong dalam melaksanakannya.