TRIBUNNEWS.COM - Hasil studi Dana Moneter Internasional (2014) menunjukkan, kenaikan investasi infrastruktur publik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun menengah.
Investasi ini tak hanya didapatkan dari badan usaha milik negara (BUMN), namun pemerintah juga mengajak pihak swasta untuk terlibat aktif mendanai infrastruktur.
Satu persen kenaikan investasi infrastruktur publik di negara berkembang bakal meningkatkan output sebesar 0,1 persen pada tahun tersebut, dan 0,25 persen empat tahun kemudian.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, pembiayaan inovatif diperlukan untuk menggenjot infrastruktur. Tentunya, akan selalu ada jaminan bagi swasta dari pemerintah.
Sejauh ini, ada 10 bandara dan 20 pelabuhan yang pengelolaannya bakal ditawarkan pada swasta.Tentunya, bandara dan pelabuhan yang ditawarkan pengelolaannya itu berpotensi menguntungkan secara ekonomi.
Bandara itu antara lain Labuan Bajo, Sentani, Radin Inten, Tarakan, Palu, Sabang, Sibolga, dan Bengkulu. Sementara itu, pelabuhan tersebut antara lain Bitung, Ternate, Manokwari, Kendari, dan Biak.
Kerja sama itu bakal menggunakan skema pengelolaan aset milik negara. Adapun jangka waktu kerja sama operasional terbatas maksimal 30 tahun. Selain itu, semua aset juga tetap dikuasai negara.
Pada forum yang sama, Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk Desi Arryani menuturkan, pembiayaan swasta baik untuk mempercepat pengoperasian jalan tol.
Dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu 2017-2019, Jasa Marga juga harus mengoperasikan 600 kilometer jalan baru dengan target 200 kilometer per tahunnya.Sebagai korporasiJasa Marga memiliki keterbatasan modal dan utang. Mau tak mau, Jasa Marga membutuhkan sumber pundi-pundi baru untuk mengakselerasi pembangunan tol itu.
Dengan ekuitas Rp 16,3 triliun, Jasa Marga juga mesti berhati-hati menentukan jumlah pinjamannya. Pasalnya, Jasa Marga adalah perusahaan terbuka, yang sewaktu-waktu pemegang sahamnya dapat khawatir saat menilai pinjaman terlalu tinggi.
"Jadi kami putuskan melakukan sekuritisasi.Kami cari mana nih skema yang tidak berbenturan dengan regulasi," kata Desi.
Artinya, sekuritisasi aset negara berupa jalan tol bukanlah penjualan aset, namun lebih kepada kerjasama pembiayaan proyek. Pada tahap pertama sekuritisasi, Jasa Marga telah melepas ruas Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) dengan jangka waktu 5 tahun.
"Hasilnya kami bisa dapat sampai Rp 2 triliun.Ke depannya mungkin akan sekuritisasi lagi, karena ini kan baru awal, istilahnya tes pasar," ujar Desi.
Desi menambahkan, selain kerja sama dengan swasta, Jasa Marga juga membuat anak usaha lebih mandiri mencari pendanaan. Misalnya, dengan menjual obligasi berbasis proyek.Hal itu sebagaimana telah dilakukan pada ruas Tol JORR W2 (Meruya-Ulujami).
“Sekuritisasi aset itu hanya menjual future income, bukan menjual aset.Aset-aset yang disekuritisasi Jasa Marga adalah jalan-jalan tol yang income-nya sudah stabil selama bertahun-tahun sehingga bisa mendapat kepercayaan investor,” tambah Desi.
Melihat fakta itu, pembangunan infrastruktur tentunya tak dapat dilakukan sendirioleh pemerintah, tetapi butuh kerja sama dengan pihak lain, seperti swasta.
Muara dari semua itu adalahsemua lapisan masyarakat bisa merasakan hasil dari infrastruktur yang terbangun.Keadilan sosial pun niscaya terwujud merata bagi segenap rakyat, dari ujung barat hingga timur di Indonesia.