Kementerian Pertanian (Kementan) menyarankan petani untuk membuat sumur dangkal apabila tak tersedia sumber mata air yang mencukupi bagi lahan pertaniannya. Pasalnya, tidak semua wilayah irigasi dekat dengan sumber air.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Sarwo Edhy menyebut, penggalian sumur dangkal bisa menjadi salah satu solusi dari minimnya air ke wilayah irigasi. Hanya saja dia menyayangkan, sejauh ini belum banyak petani yang bersedia membangun sumur dangkal tersebut.
"Ya kita tawarkan ke petani itu bangun sumur dangkal, dibor. Tapi sepertinya belum banyak yang berminat. Padahal itu bisa menjadi solusi,” ujar Sarwo Edhy, Senin (26/8).
Sarwo mengatakan, penolakan terhadap penggalian sumur dangkal itu alasannya hanya karena lahan pertanian milik petani tak ingin diganggu. Padahal, kata dia, pembangunan sumur dangkal tak menggerus banyak lahan sebab hanya dilakukan pengeboran dengan jarak bor yang relatif pendek, yakni antara 15 meter-50 meter kedalamannya.
Di samping itu dia juga menekankan, pembangunan sumur dangkal itu disediakan oleh pemerintah secara gratis. Petani hanya akan mengeluarkan biaya melalui solar untuk operasional pompanya untuk dialirkan ke lahan-lahan yang irigasi.
“Nggak butuh dalam-dalam sebenarnya, banyak juga yang kedalaman 15 meter sudah muncul air,” ujar Sarwo Edhy.
Kekeringan lahan di sejumlah wilayah pertanian memang terus terjadi. Data terakhir di awal Agustus 2019, berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan luas lahan puso yang mayoritasnya berada di Pulau Jawa dan sejumlah wilayah timur Indonesia berkisar 30 ribu hektare. Jumlah tersebut berdasarkan asumsi perhitungan yang dihimpun bersama-sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dampak dari kekeringan yang menyebabkan puso tersebut tak berhenti di situ bagi petani. Sejumlah petani yang memiliki asuransi usaha pertanian (AUTP) lahannya dikabarkan tak dapat mengajukan klaim asuransi. Menanggapi hal itu, Sarwo mengatakan prosedur yang diajukan petani belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria polis asuransi.
Misalnya, kata dia, klaim asuransi hanya berlaku bagi petani yang lahannya mengalami kerusakan hingga 75 persen ke atas. Di bawah ketentuan itu, klaim asuransi tak berlaku. Sayangnya, sejumlah petani tak memeriksa kembali perjanjian polis asuransi yang mereka lakukan sejak akad di awal.
“Premi yang mereka bayar itu kan hanya Rp 35 ribu per hektare, jadi yang bisa di-cover asuransi hanya yang di atas 75 persen kerusakan. Ini kadang petani, 10 persen kerusakan saja mengajukan, nanti bisa-bisa bangkrut perusahaan asuransinya (Jasindo),” ujarnya.
Dia mengatakan, bagi petani yang mengalami puso baik itu petani yang tidak memiliki asuransi atau yang memiliki asuransi namun kerusakan lahannya tak sesuai kriteria, maka pemerintah bakal memberikan alokasi benih padi. Selain itu, pihaknya juga mengaku terus menerima pengajuan alat pompa untuk dialokasikan ke daerah terdampak.
Namun berdasarkan informasi yang dia terima, petani kerap mengajukan usulan yang tak sesuai dengan fakta di lapangan terkait pompa dan pipa. Misalnya, begitu petugas melakukan verifikasi kelayakan pemberian pompa dan pipa ke daerah, ternyata di lapangan tak tersedia sumber mata air yang memadai.
“Nah, kalau nggak ditemukan sumber airnya maka apa yang mau dipompa? Itu masalahnya. Ya makanya di awal kami tawarkan gali sumur dangkal,” ujarnya.(*)