TANGERANG SELATAN – Fraksi PDI Perjuangan MPR RI menggelar diskusi nasional bertajuk “Evaluasi Kelemahan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) di Hotel Mercure, Tangerang Selatan, Banten, Kamis 5 September 2019. Pelaksanaan dialog publik ini untuk merespon sekaligus memberikan alternatif lain terhadap polemik hadirnya kembali Haluan Negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menyebut bahwa sedikitnya ada 4 kelemahan mendasar yang terkandung dalam UU SPPN. Pertama, perencanaan pembangunan model SPPN hanya bertumpu di tangan eksekutif (executive centris). Model pembangunan jenis ini menghilangkan prinsip dan semangat gotong royong dan mengedepankan individualisme. Kedua, kendati pun ternyata ada substansi RPJM yang berbeda atau dikurangi atau mungkin lebih luas dari yang ditetapkan dalam RPJP, tidak ada satu pun ketentuan di dalam UUD NRI Tahun 1945 atau undang-undang lainnya yang melarang hal tersebut.
Ketiga terdapat fakta, bahwa visi, misi dan program kerja Presiden terpilih ternyata dalam beberapa hal berbeda dengan visi, misi dan program kerja Kepala Daerah terpilih, dengan demikian maka, dapat terjadi perbedaan implementasi RPJM Nasional dengan RPJM Daerah. Ke empat, Presiden atau Kepala Daerah penggantinya tidak ada kewajiban untuk melanjutkan program pembangunan yang telah atau sedang dijalankan tetapi belum sempat selesai oleh Presiden atau Kepala Daerah sebelumnya.
“Sebagai solusi dari persoalan di atas, maka diperlukan upaya menghadirkan kembali Haluan Negara dalam sistem ketatanegaraan kita. Keberadaan haluan negara ini akan makin melengkapi sempurnanya bangunan ketatanegaraan Indonesia berdasarkan sistem presidensial yaitu Indonesia memiliki Pancasila sebagai haluan ideologi negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar konstitusi negara dan haluan negara sebagai kebijakan dasar pembangunan negara,” jelas Basarah.
Di lokasi sama, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengamini peryataan yang disampaikan Basarah. Dalam tataran empirik memang tidak ada sinkronisasi dan kontinuitas pembangunan nasional. Dalam hal capaian kinerjanya di Banyuwangi, Anas memaparkan bahwa prestasi di Banyuwangi belum tentu bisa diiterapkan di daerah-daerah lain.
“Tidak ada sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak melaksanakan RPJPN dan RPJMN. Karena itulah diperlukan adanya Haluan Negara sebagai kaidah penuntun arah pembangunan," jelas Anas di lokasi serupa.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite Ekonomi Indonesia Arif Budimanta menjelaskan selama hampir 25 tahun rezim RPJPN telah menjadikan ekonomi dan fiskal sebagai panglima, bukan nation and character building. Sehingga nilai-nilai dan karakter pembangunan nasional mengalami erosi.
Arif juga mengatakan dampak ketiadaan haluan negara menyebabkan ketidaksesuaian antara RPJPN dan RPJMN sehingga menyebabkan diskonektivitas tahapan dan prioritas pembangunan nasional. Dampaknya adalah trend pertumbuhan PDB Indonesia melambat dan cenderung stagnan di angka 5%. Selain itu, pertumbuhan ekonomi belum bertransmisi sampai pada kehidupan masyarakat, terutama dalam mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan pendapatan yang stabil. Dampak lainnya adalah tingkat ketimpangan masih tinggi.
“Jangan sampai pertumbuhan ekonomi naik, tapi tidak terjadi pemerataan,” ujarnya.
Pada bagian lain ketua Komisi Yudisial Dr. Jaja Ahmad Jayus juga menilai bahwa UU SPPN dan UU RPJPN memiliki banyak kelemahan, salah satunya terjadi ketidaksesuaian antara perencanaan dan penganggaran, baik di instansi, pemerintah pusat dan daerah.
“Oleh karena itu saya dukung secara pribadi agar MPR diberikan kewenangan untuk kembali menetapkan GBHN,” jelas Jaja. (*)