TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Perhubungan cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) menggelar acara konsultasi publik (public hearing) guna mengetahui respons publik terhadap suatu kebijakan yang berlaku selama ini, serta yang direncanakan di masa mendatang.
Oleh karena itu, Ditjen Hubla mengadakan kegiatan publik hearing atau rapat dengar pendapat umum untuk memperoleh masukan-masukan dari masyarakat maritim, bertempat di di Hotel Aryaduta, Jakarta, selama dua hari mulai Rabu 21-22 April 2021.
Dengan peserta yang diundang sejumlah 44 (empat puluh empat) peserta undangan, terdiri atas berbagai Kementerian/Lembaga terkait, UPT Ditjen Hubla, Pelaku Usaha dan Asosiasi di bidang pelayaran.
Kegiatan ini dijalankan dengan penerapan Protokol Kesehatan Penanganan Covid-19 sesuai dengan petunjuk dari Instansi yang berwenang.
"Keterlibatan masyarakat dan kementerian terkait dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah keharusan, karena akan sangat terkait dengan penerapan suatu pengaturan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, guna menyiapkan peraturan yang applicable, responsif dan memberikan kepastian hukum maka serap aspirasi, menerima masukan, tanggapan dan penyempurnaan terhadap draft peraturan sangat diperlukan," kata Direktur Jenderal Perhubungan Laut, R Agus H Purnomo.
Agus mengungkapkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran, telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 2 Februari 2021.
PP tersebut merupakan omnibus dari berbagai Produk Peraturan Pemerintah di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
"Ini meliputi Angkutan laut dan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan, Kepelabuhanan, Perkapalan dan Kepelautan, Kenavigasian, Manajemen Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan sesuai ketentuan ISPS Code, dan Pengaturan penyampaian surat, dokumen dan warta kapal di pelabuhan," ungkap Agus.
Berdasarkan hasil identifikasi atas Pasal-Pasal dalam PP 31 Tahun 2021 yang mengamanatkan untuk dilanjutkan pengaturannya dengan Peraturan Menteri Perhubungan, maka RPM yang akan disusun di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut berjumlah 31 RPM dari total 53 RPM di lingkungan Kementerian Perhubungan.
Adapun RPM tersebut meliputi pengaturan yang sifatnya merevisi atau mencabut PM yang saat ini sudah berlaku, ataupun pengaturan RPM baru. Beberapa persoalan strategis perlu untuk diatur secara lebih jelas dalam Peraturan Menteri sebagaimana sudah diatur dalam PP 31 Tahun 2021.
"Secara prinsip, penyusunan RPM ini akan berfokus pada pengaturan normatif penyelenggaraan di bidang pelayaran, sedangkan pengaturan terkait perizinan berusaha berbasis risiko akan secara langsung tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko," ujar Agus.
Penyiapan 31 RPM telah dilakukan pembahasan di Internal Kementerian Perhubungan secara Intensif melibatkan Para Direktur – Setditjen Hubla dan Biro Hukum. Namun tentunya masih diperlukan aspirasi, saran dan masukan terhadap norma-norma yang dirumuskan di dalam 31 draft RPM.
Namun, penyediaan partisipasi masyarakat sangat dibatasi waktu, oleh karenanya kegiatan ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk menjaring aspirasi publik seluas-luasnya.
"Dan akan ditindaklanjuti dengan proses harmonisasi rancangan peraturan menteri perhubungan bersama pihak Kementerian Hukum dan HAM," tutupnya.
Sebagai informasi, omnibus law di bidang pelayaran merevisi PP 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, PP 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, PP 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, PP 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, yang terdiri dari beberapa pengaturan terkait. (*)