TRIBUNNEWS.COM - Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam (LPS-KSP) sudah lama menjadi harapan masyarakat koperasi Indonesia untuk diwujudkan. Tujuannya, guna melindungi dan mendorong simpanan anggota koperasi pada usaha simpan pinjam koperasi (USPK), khususnya yang diselenggarakan melalui Koperasi simpan pinjam.
Hal itu dipaparkan Deputi Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi, pada Webinar Peringatan Hari Koperasi ke-74, Selasa (13/7).
Di acara yang juga dihadiri anggota DPR Komisi VI Muhammad Idris Laena, Zabadi menambahkan, mandat pembentukan LPS-KSP diberikan oleh UU No 17 tahun 2012. Akan tetapi, semenjak UU tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013 dan untuk sementara waktu kembali kepada UU Nomor 25 Tahun 1992, rencana pembahasan untuk membentuk LPS-KSP menjadi tertunda
"Walaupun demikian, upaya untuk mewujudkan adanya LPS-KSP tidak berarti terhenti. Sebab, secara teoretis dan praktis, gagasan pembentukan LPS-KSP mendapat dukungan yang luas dari gerakan koperasi," ucap Zabadi.
Pasalnya, lanjut Zabadi, manfaatnya yang besar untuk perlindungan kepada penyimpan dana, khususnya tabungan anggota yang kecil di koperasi.
Selain itu, kata Zabadi, adanya LPS-KSP juga akan membantu menjaga stabilitas sistem keuangan karena meningkatnya kepercayaan (trust) kepada sistem keuangan formal, khususnya koperasi.
Zabadi pun menggambarkan sejumlah kegiatan yang sudah dilakukan sebagai upaya untuk merealisasikan terbentuknya LPS-KSP. Yaitu, pada 2013 disusun Draft Naskah Akedemik sesuai mandat UU No 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Tetapi, belum pernah dibahas mendalam karena dibatalkannya UU tersebut oleh MK pada 2013.
Lalu, pada tahun 2016-2017, dilakukan updating terhadap Naskah Akademik (2013), dengan fokus untuk merumuskan argumentasi pentingnya LPS-KSP dari berbagai perspektif, landasan yuridis yang kokoh berdasar UU No 25 Tahun 1992, hingga format pelembagaan LPS-KSP.
Selanjutnya, tahun 2018-2019, hasil updating naskah akademik menjadi salah satu referensi yang memperkuat argumen pemerintah kepada DPR RI, sehingga pembentukan LPS-KSP disetujui diatur dalam pasal RUU Perkoperasian.
"Kemudian, tahun 2020, masa dimana disusun dan dibahas RUU Cipta Kerja, koperasi meski termasuk klaster yang dibahas. Tetapi, LPS-KSP luput sebagai substansi yng diatur dalam UU No 11 Tahun 2020," ungkap Zabadi.
Namun, seiring dengan perkembangan konstelasi perubahan ekonomi, sosial, budaya, struktur demografi era milenial dan teknologi, serta dinamika persoalan dan potensi koperasi yang tumbuh berkembang di lingkungan modern dan digital, maka diperlukan regulasi (baru) sebagai payung hukum yang mampu menjawab tantangan/persoalan kekinian tersebut.
"Upaya untuk pembahasan kembali RUU Perkoperasian yang sesungguhnya sudah final di DPR RI perlu terlebih dorongan dan tuntutan hal itu disampaikan berbagai forum gerakan koperasi, masyarakat yang diunggah di berbagai media sosial, juga kalangan DPR RI," jelas Zabadi.
Untuk mengantisipasi kesiapan kemungkinan luncuran pembahasan RUU Perkoperasian, kata Zabadi, maka naskah akademik pembentukan LPS-KSP (tahun 2019) yang ada, perlu dilakukan tinjauan kembali. "Guna dirumuskan penajaman argumentasi, penyesuaiannya terhadap berbagai peraturan per-UU-an yang baru, UU 11/2020 tentang Ciptaker dan PP 7/2021," imbuh Zabadi.
Termasuk elaborasi terkait pihak-pihak yang berpretensi meragukan atau kurang setuju adanya LPS-KSP.
Diantaranya, sistem KSP yang bersifat eksklusif, di mana dana dihimpun dan disalurkan hanya kepada anggota, maka simpanan sebagai harta milik anggota sekaligus pemilik, mengapa harus dijamin secara eksternal oleh LSP. "Ada juga keraguan akan maraknya moral hazard," ujar Zabadi.
Ada juga isu pembentukan sebagai badan hukum yang independen, saat awal pendiriannya pada akhirnya akan menyedot dan memberatkan APBN. Juga, pengawasan terhadap KSP yang tidak/belum kompatibel dengan sistem pengawasan yang dilakukan oleh OJK dan lainnya.
Zabadi menambahkan isu lainnya seperti kepesertaan LPS-KSP, dimana banyak KSP yang belum dijalankan dengan tatakelola yang baik dan dengan sistem terbuka, hingga dana kelolaan LPS-KSP, kurang/tidak dapat mencakup skala yang luas/besar, sehingga hal ini berpotensi menimbulkan risiko rugi lebih besar, dari pada potensi menciptakan surplus usaha.