TRIBUNNEWS.COM - Negara harus hadir dalam upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang bekerja sebagai asisten rumah tangga. Upaya proaktif negara dalam merealisasikan perlindungan setiap warga negara harus dikedepankan.
"Praktik serupa dengan perbudakan yang menimpa saudara-saudara kita yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Malaysia saat ini harus menjadi perhatian kita bersama. Perlindungan terhadap setiap warga negara, termasuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri, harus diwujudkan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/2).
Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono dalam satu wawancara dengan salah satu portal berita Malaysia mengungkapkan ART asal Indonesia diperlakukan seperti budak zaman modern di Negeri Jiran itu.
Banyak kasus ART asal Indonesia dipaksa bekerja selama bertahun-tahun tanpa dibayar serta kartu identitasnya diambil oleh majikan.
Kedutaan Besar Indonesia tahun lalu membantu 206 kasus pelanggaran hak ART dengan total gaji tak terbayarkan lebih dari 2 juta ringgit (Rp 6,85 miliar) dan lebih dari 40 kasus serupa sekarang ditangani di pengadilan.
Kondisi yang dialami para pekerja Indonesia di Malaysia itu, ujar Lestari, sangat memprihatinkan dan mengapresiasi langkah proaktif pemerintah melalui KBRI Malaysia yang melakukan pendampingan penuntasan ratusan kasus yang menimpa ART asal Indonesia itu.
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, perlindungan terhadap ART Indonesia di luar negeri dapat diupayakan lebih baik lagi dengan segera merealisasikan hadirnya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) di tanah air, yang saat ini kelanjutan pembahasan rancangan undang-undang tersebut masih menunggu kesepakatan pimpinan DPR.
Beleid yang melindungi pekerja rumah tangga (PRT) di dalam negeri itu, ujar Rerie, bisa menjadi bargain bagi Indonesia untuk meminta perlindungan atas warga negara Indonesia yang bekerja sebagai ART kepada negara tujuan.
Filipina yang sudah memiliki UU PPRT, ungkap Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, pekerja migrannya lebih terlindungi karena undang-undang di negaranya mengatur relasi yang seimbang antara pemberi dan penerima kerja.
Kekosongan hukum yang mengatur terkait PRT di tanah air, tegas Rerie, menyebabkan pelanggaran hak-hak PRT marak terjadi, para pelanggar tidak mendapat hukuman setimpal dan negosiasi PRT lemah.
Menurut Rerie, payung hukum yang kuat bagi para pekerja rumah tangga saat ini sangat dibutuhkan untuk melindungi pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam dan luar negeri dari ancaman tindak pelanggaran terhadap hak-hak mereka.
Karena itu, Rerie mendesak pimpinan DPR segera melanjutkan proses legislasi RUU PPRT dengan mempertimbangkan maraknya pelanggaran hak-hak dasar yang dialami para PRT Indonesia di dalam dan luar negeri.*