TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang juga Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan & Keamanan KADIN Indonesia bersama Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen TNI (purn) Hinsa Siburian mengungkapkan, sepanjang tahun 2021 ada 1,6 miliar anomali trafik atau serangan siber (cyber attack) yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Termasuk ratusan hingga ribuan potensi serangan siber yang ditujukan kepada Ring-1 Istana Negara, termasuk terhadap Presiden Joko Widodo. Tidak hanya dari serangan siber melalui malware, BSSN juga mendeteksi anomali sinyal elektromagnetik yang berasal dari sekitar lokasi Istana Negara terhadap Ring-1 Istana Negara dan Presiden Joko Widodo.
Berkat kerja keras BSSN, berbagai potensi serangan siber maupun anomali sinyal elektromagnetik tersebut berhasil ditangkal secara cepat. Namun bukan berarti potensi serangannya sudah menurun.
Mengingat dunia saat ini sedang menghadapi Perang Generasi Kelima (G-V) berupa peperangan siber dan informasi. Sebagaimana diketahui, evolusi peperangan dunia sudah melalui lima generasi. Pada Perang Generasi 1, dunia dihadapkan pada peperangan padat manusia seperti pada saat penjajahan kolonial.
Perang Generasi 2 dihadapkan pada manuver dan tembakan serta alat berat militer lainnya, seperti terjadi pada Perang Dunia I dan II. Perang Generasi 3 dihadapkan pada Padat Teknologi seperti yang terjadi pada Perang Teluk. Sementara pada Perang Generasi 4 berupa Peperangan Asimetris dengan menggunakan kekuatan Non Militer.
"Untuk itu BSSN perlu diperkuat. Indonesia perlu segera memiliki Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber Nasional. Mengingat selama ini payung hukum BSSN hanyalah berdasar UU 1/2008 tentang ITE sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016, PP 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Perpres 28/2021 tentang BSSN. Kelahiran Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber Nasional juga sejalan dengan amanat Presiden Joko Widodo yang menegaskan dalam Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2019 lalu bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi ancaman kejahatan siber dan penyalahgunaan data," ujar Bamsoet usai bertemu Kepala BSSN Letjen TNI (purn) Hinsa Siburian bersama Pengurus Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan & Keamanan (Polhukam) KADIN Indonesia, di kantor BSSN, di Jakarta, Rabu (13/4/2022).
Turut hadir jajaran BSSN antara lain, Deputi Bidang Operasi Keamanan Siber dan Sandi Mayjen TNI Dominggus Pakel, Deputi Bidang Keamanan Siber dan Sandi Perekonomian Mayjen TNI (Mar) Markos, Direktur Keamanan Siber dan Sandi Keuangan Edit Prima, Direktur Keamanan Siber dan Sandi Industri Intan Rahayu, Juru Bicara BSSN Ariandi Putra dan Plt Kepala Biro Hukum dan Komunikasi Publik Ferry Indrawan.
Hadir pula pengurus Badan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia (Polhukam KADIN), antara lain Sekretaris Kepala Badan Junaidi Elvis, Wakil Kepala Badan Raldy Engelen Pattipeilohy, Kepala Hubungan dengan BSSN Tengku Irvan Bahran. Hadir pula para Wakil Kepala Hubungan dengan BSSN, antara lain Hiskia Pasaribu, Rudi Rusdiah, Yuni Indrani Widjaya, dan Naraisa Yogas.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, jika tidak segera diantisipasi, dampak yang dihasilkan dari Perang G-V Siber dan Informasi bisa lebih dahsyat dibandingkan empat perang lainnya.
Dengan kekuatan siber yang dikendalikan dari jauh, sebuah negara bisa melumpuhkan objek vital negara lainnya seperti pembangkit listrik, cadangan minyak, hingga operasional alutsista militer. Melalui serangan siber, sebuah negara bisa membuat jaringan telekomunikasi dan internet di negara lain mati total, digital perbankan kacau, radar militer maupun penerbangan sipil tidak bisa digunakan.
"Bahkan lebih mengerikan, alat tempur seperti pesawat dan kapal selam di remote dari luar negeri untuk melakukan serangan seperti melempar bom tanpa bisa dikendalikan oleh kita. Hal seperti itu bisa saja terjadi. Saat ini saja, jika kita melaporkan kehilangan handphone, dari kantor pusat bisa langsung di destruct sehingga si pencuri tidak bisa menggunakan. Karena itu, kedepan saat membeli alat tempur atau sarana prasarana critical infrastructure dari luar negeri, beberapa codingnya harus diganti dengan melibatkan BSSN. Sehingga pabrikan asalnya tidak lagi punya kendali penuh. Hal ini untuk meminimalisir perbuatan jahat dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, selain memiliki Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber Nasional, Indonesia juga perlu memiliki Single Identity Number.
Di dalamnya tidak hanya memuat database kependudukan seperti nama, jenis kelamin, alamat, dan hal basic lainnya. Melainkan juga terintegrasi dengan pajak dan kesehatan (BPJS). Untuk mewujudkannya, perlu peran BSSN, khususnya dalam mengamankan data dari berbagai serangan siber yang dilancarkan oleh para pihak tidak bertanggungjawab
"Dengan memiliki Single Identity Number seperti halnya berbagai negara besar dunia, Indonesia akan mendapatkan banyak manfaat. Antara lain, mengatasi masalah yang timbul akibat tersegmentasinya data penduduk di berbagai kementerian/lembaga, sebagai instrumen monitoring tingkat kepatuhan warga dalam memenuhi hak dan kewajibannya seperti pajak, hingga berkontribusi dalam memberikan informasi detail mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat," pungkas Bamsoet. (*)