TRIBUNNEWS.COM - Ketua MPR RI ke-15 sekaligus Ketua DPR RI ke-20, Ketua Komisi III DPR RI ke-7, serta Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya, dan Universitas Pertahanan (UNHAN), Bambang Soesatyo, menyampaikan pandangannya mengenai perlunya koreksi terhadap Pilkada langsung.
Menurutnya, tujuan utama dari gagasan mengoreksi sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung adalah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih bersih, efisien, efektif, demokratis, dan profesional. Realitas menunjukkan bahwa Pilkada langsung yang berbiaya mahal justru sering kali menghasilkan administrasi pemerintahan yang koruptif.
Awalnya, Pilkada langsung muncul sebagai wujud nyata kedaulatan rakyat, yang merupakan bagian dari euforia reformasi. Sistem ini diatur dalam Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan diperkuat oleh UU No. 8 Tahun 2015.
Saat pertama kali diterapkan, Pilkada langsung disambut positif karena memberikan masyarakat hak untuk memilih langsung kepala daerah. Sayangnya, seiring waktu, sistem ini mulai kehilangan nilai-nilai demokratis yang menjadi dasarnya.
Hal ini, ungkap Bamsoet, terjadi karena minimnya literasi publik tentang pentingnya kompetensi calon pemimpin hingga membuat praktik politik uang merebak dalam Pilkada langsung. Kontestan sering kali lebih memilih pendekatan pragmatis, seperti membeli suara pemilih atau memanfaatkan pengaruh tokoh masyarakat lokal dan pemuka agama.
Untuk memenangkan suara, para kandidat juga kerap membentuk tim relawan yang melakukan aksi populer seperti "serangan fajar." Fenomena ini memunculkan istilah "harga suara mahal" dan "harga suara murah" di berbagai daerah.
Bagi para kandidat, biaya besar yang dikeluarkan untuk Pilkada dianggap sebagai investasi. Ketika terpilih, mereka tidak hanya fokus pada pengembalian modal, tetapi juga mencari keuntungan selama masa jabatan, yang sering kali digunakan untuk mendukung pencalonan kembali. Sayangnya, pola ini justru melahirkan administrasi pemerintahan daerah yang koruptif.
Baca juga: Bamsoet: Penegakan Hukum yang Tidak Melecehkan Rasa Keadilan
Data menunjukkan bahwa korupsi oleh pejabat daerah bukan lagi hal baru. Pada 2013, misalnya, sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terlibat dalam kasus korupsi. Sepanjang 2004-2024, KPK mencatat 618 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten/kota, dengan 167 kepala daerah terlibat.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sejumlah mantan pelaku korupsi bahkan kembali maju sebagai peserta Pilkada 2024, seperti yang dilaporkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Setidaknya, ada 138 kandidat dengan rekam jejak dugaan korupsi yang terlibat dalam Pilkada 2024.
Bamsoet turut mengatakan bahwa praktik Pilkada langsung yang sarat korupsi ini telah membuat masyarakat kehilangan kepercayaan. Banyak yang menilai Pilkada langsung tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kesejahteraan warga, peningkatan layanan publik, atau penanganan masalah seperti kemiskinan, stunting, dan pendidikan.
Bahkan, dana transfer pusat ke daerah yang mencapai Rp 2.300 triliun dalam tiga tahun terakhir tidak mampu mengatasi masalah tersebut secara signifikan.
Dengan berbagai masalah tersebut, Bamsoet menegaskan bahwa koreksi terhadap Pilkada langsung menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Praktik politik uang, korupsi, dan manipulasi dalam Pilkada langsung adalah ancaman nyata bagi demokrasi.
Demi masa depan bangsa dan generasi mendatang, sudah saatnya masyarakat tidak ragu untuk mengoreksi sistem ini dan mendorong perubahan yang lebih baik. (*)
Baca juga: Bamsoet Apresiasi Langkah Cepat Polri Usut Dugaan Pemerasan Oknum Polri dalam Festival Musik DWP