TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan International Monetary Fund (IMF) pada 16 April 2022 lalu telah mengeluarkan peringatan serius tentang dampak lanjutan pandemi Covid-19, ditambah dampak akibat perang Rusia-Ukraina. IMF menyebutnya sebagai 'Krisis di Atas Krisis'.
Karenanya dalam menjalankan Presidensi G-20 serta menyambut rangkaian KTT G-20 yang puncaknya akan diselenggarakan di Bali pada akhir tahun 2022 ini, pemerintah Indonesia harus bisa menyampaikan proposal yang komprehensif untuk mencegah dan menanggulangi berbagai kerusakan yang terjadi akibat 'Krisis di Atas Krisis' tersebut.
"Perang Rusia dan Ukraina telah berimplikasi pada harga komoditas, perdagangan, dan pasar finansial global. Berbagai harga komoditi terkait konsumsi rumah tangga dan energi yang semakin tidak terkendali, menyebabkan inflasi semakin menggila. Bahkan setelah lebih dari 40 tahun, Amerika Serikat pada Maret 2022 lalu turut merasakan inflasi tertinggi sejak 1982," Kata Bamsoet di Jakarta, Senin (18/4/2022).
"Terlihat dari Data Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat yang melaporkan indeks harga konsumen atau Consumer Price Index (CPI) naik 7,9 persen secara year-on-year (yoy). Hal ini bisa saja mempengaruhi mitra bisnis Amerika Serikat di berbagai belahan dunia, seperti China, Uni Eropa, Kanada, Jepang, hingga Korea. Apabila sampai terjadi supply-demand yang tidak normal, maka dunia bisa jadi akan menuju kelesuan ekonomi," jelasnya lagi.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, selain memanfaatkan momentum presidensi G-20, dalam menghadapi berbagai dampak 'Krisis di Atas Krisis' tersebut, pemerintah Indonesia juga harus menggalang soliditas dari berbagai elemen di dalam negeri.
Khususnya dari para elit politik, harus bahu membahu membangun solidaritas untuk menyelesaikan segala persoalan bangsa. Berbagai kegaduhan bangsa yang tidak produktif, terlebih cenderung memecah belah, harus segera dihentikan.
Seluruh energi bangsa harus disalurkan untuk pemulihan dan penguatan ekonomi, baik menghadapi pandemi Covid-19 yang belum berakhir maupun menghadapi dampak perang Rusia-Ukraina yang belum terlihat kapan akan berakhirnya.
"Sebagai early warning, Bank Dunia (World Bank) pada 5 April 2022 telah mengeluarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2022 bagi negara-negara Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia. Rata-rata terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat berbagai tekanan, salah satunya dari dampak perang Rusia - Ukraina. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, misalnya, diperkirakan sebesar 5,1 persen pada tahun 2022, lebih rendah 0,1 poin dari proyeksi yang dirilis pada Oktober 2021. Bahkan pada skenario terburuk, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022 bisa turun menjadi 4,6 persen," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini juga meminta Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan (Kepala KSSK), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk meningkatkan koordinasi guna mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi dalam menghadapi 'Krisis di Atas Krisis'. Termasuk untuk mempertahankan momentum pemulihan ekonomi, serta menjaga stabilitas sistem keuangan.
"Sehingga inflasi bisa terkendali, stabilitas moneter dan sistem keuangan tetap terjaga, serta kredit dan pembiayaan kepada dunia usaha pada sektor-sektor prioritas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, ekspor, serta inklusi ekonomi dan keuangan, bisa tetap meningkat. Lebih penting lagi juga mendukung UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional, melalui peningkatan pendalaman pasar keuangan dengan mendorong pembiayaan alternatif berbasis digital, di antaranya melalui BWM Digital, P2P Lending dan Securities Crowdfunding," pungkas Bamsoet. (*)