TRIBUNNEWS.COM - Upaya percepatan penetapan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi Undang-Undang perlu didukung semua pihak untuk dapat mewujudkan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga sebagai bagian dari upaya menegakkan prinsip hak asasi manusia.
"Konstitusi kita menggarisbawahi poin penting tentang kerja manusia, yang dalam pasal 27 ayat (2) dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka Temu Pakar bertema Aspirasi Masyarakat Terhadap Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 secara hibrid, di Ruang Delegasi, Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (2/11).
Pada diskusi yang dimoderatori Prita Laura (Tenaga Ahli Madya Kedeputian Informatika dan Komunikasi Publik Kantor Staf Presiden) itu menghadirkan Willy Aditya (Ketua Panja RUU PPRT Baleg DPR RI), Luluk Nur Hamidah, M.Si., M.PA (Anggota DPR RI), Prof. Drs. Anwar Sanusi, MPA, Ph.D (Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan RI), Jaleswari Pramodhawardani (Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM, Kantor Staf Presiden), Dr. Ir. Hj. Giwo Rubianto, M.Pd, (Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia /Kowani), Lita Anggraini (Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga /Jala PRT), dan Eva Sundari (Institute Sarinah) sebagai narasumber.
Menurut Lestari, UUD 1945 mengamanatkan dasar pemikiran bahwa pekerjaan dan penghidupan layak adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Kehadiran UU PPRT yang merupakan bagian instrumen perlindungan bagi pekerja rumah tangga, tegas Rerie, sapaan akrab Lestari, membutuhkan dukungan semua pihak.
Namun faktanya, ujar Rerie, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) harus melalui jalan panjang dan berliku untuk menjadi Undang-Undang.
Sejak 2004 RUU PPRT sudah diajukan. Pada 2009 RUU tersebut bahkan sudah didorong untuk disahkan. Pada 2019, RUU PPRT masuk dalam prolegnas. Namun, belum juga berujung pada pengesahan menjadi Undang-Undang.
Pada 2020, Badan Legislasi DPR menyepakati RUU PPRT menjadi inisiatif DPR, tetapi hingga kini regulasi itu belum juga dibawa ke rapat paripurna.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu mengungkapkan, sepanjang 2020-2021, Forum Diskusi Denpasar 12 pun sudah tiga kali mengangkat tema terkait pentingnya RUU PPRT bagi pekerja rumah tangga, namun para pemangku kebijakan belum tergerak untuk mengesahkan RUU tersebut.
Akibatnya, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, para pekerja rumah tangga di tanah air hingga kini belum mendapatkan perhatian dan perlindungan secara menyeluruh. Tanpa kepastian perlindungan, tambah Rerie, semakin banyak pekerja rumah tangga yang hak-hak dasarnya terabaikan.
Hadirnya instrumen hukum untuk melindungi para pekerja rumah tangga, tegas Rerie, sejatinya merupakan bagian dari upaya negara dalam menjalankan amanat konstitusi yang merupakan warisan para pendiri bangsa untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab di negeri ini.
Perlu pemahaman semua pihak terkait substansi dan urgensi kehadiran UU PPRT, tambahnya, agar akselerasi proses pembahasan RUU PPRT untuk menjadi Undang-Undang bisa direalisasikan.
Ketua Panja RUU PPRT Baleg DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan sebenarnya RUU PPRT sudah selesai dibahas di Baleg pada 1 Juni 2020, tinggal menunggu dibawa ke Sidang Paripurna untuk disahkan sebagai usulan DPR dan dibahas bersama Pemerintah.
Berdasarkan tata tertib DPR, jelas Willy, sejatinya pimpinan tidak boleh menahan proses perundangan-undangan yang sedang berlangsung. Apalagi tujuh fraksi sudah sepakat dan hanya dua fraksi yang menolak.
"Mungkin harus digerudug agar proses legislasi RUU PPRT bisa segera berlanjut dan disahkan," ujarnya.
Anggota DPR RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Luluk Nur Hamidah mengungkapkan Nahdatul Ulama mendukung penuh pengesahan RUU PPRT didasari atas pemikiran bahwa perlindungan kepada PRT adalah bagian dari pesan moral keagamaan dan konstitusi kita juga memperkuat dukungan itu.
Pemerintah, tegas Luluk, seharusnya berupaya dalam rangka menghasilkan kerja-kerja kemaslahatan. Dalam konteks konstitusi, tambahnya, setiap warga negara berhak atas perlindungan dan pekerjaan yang layak.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan RI, Anwar Sanusi berpendapat kebijakan ketenagakerjaan diterapkan Pemerintah sejatinya bertujuan untuk membuat sistem dalam pengaturan PRT menjadi lebih baik.
Namun, jelas Anwar, hingga saat ini masih ada regulasi yang belum terisi bagi perlindungan PRT, sehingga para pekerja rumah tangga belum diatur secara jelas.
Menurut Anwar, ada sejumlah hal yang menjadi kendala dalam pengaturan kebijakan terkait PRT, antara lain belum adanya kebijakan perlindungan hak dan kewajiban PRT, Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang pengaturan PRT, dan PRT tidak mendapat jaminan perlindungan sosial ketenagakerjaan.
Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM, Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani mengungkapkan pada satu kesempatan Presiden Joko Widodo juga mendorong agar BPJS Ketenagakerjaan tidak melindungi pekerja formal saja, tapi juga pekerja informal.
Pemerintah, ujar Jaleswari, cukup serius melindungi setiap warga negara tanpa pandang bulu. Pemerintah, tambahnya, juga membentuk gugus tugas terkait percepatan pengesahan RUU PPRT.
Kolaborasi seluruh pemangku kepentingan yang sangat bagus saat memperjuangkan RUU TPKS menjadi undang-undang, menurut Jaleswari, harus ditularkan semangatnya pada proses RUU PPRT.
"Menjelaskan subtansi penting, strategi juga penting dalam proses mengegolkan RUU PPRT menjadi Undang-Undang," ujar Jaleswari.
Ketua Umum Kowani, Giwo Rubianto berharap proses percepatan pengesahan RUU PPRT menjadi Undang-Undang bisa direalisasikan sebelum 22 Desember 2022, sebagai hadiah dari para wakil rakyat.
Menurut Giwo, selama ini setiap anggota Kowani juga sudah berkomitmen untuk menyosialisasikan substansi RUU PPRT kepada berbagai komunitas dan organisasi, agar masyarakat memahami manfaat dan pentingnya UU PPRT.
Hadirnya UU PPRT, ujarnya, secara teknis juga bisa meringankan para pemberi kerja, tidak semata menambah kewajiban pemberi kerja.
"Komitmen Kowani sejak 1935, wanita Indonesia adalah Ibu bangsa, jadi para PRT adalah Ibu bangsa yang harus dimuliakan," tegas Giwo.
Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini mengungkapkan kontribusi PRT terhadap kehidupan di sebagian besar rumah tangga cukup besar.
Kehadiran PRT di sebuah rumah tangga kelas menengah-atas, ujar Lita, mampu meningkatkan produktivitas keluarga tersebut. Tanpa PRT, tambahnya, pengeluaran rumah tangga itu diperkirakan bisa lebih tinggi lima kali lipat jika dibandingkan bila tidak ada PRT.
Namun, ungkapnya, yang dialami PRT malah sangat menyedihkan karena kerap menjadi korban kekerasan, tidak memiliki jaminan kesehatan dan bansos. Padahal, tambah Lia, sebagian besar PRT masuk kategori masyarakat tidak mampu.
Pada kesempatan diskusi itu hadir pula Rizky, PRT korban kekerasan fisik dan seksual oleh majikannya di Jakarta Timur. Rizky sangat berharap UU PPRT segera disahkan agar tidak ada lagi korban seperti dirinya.
Eva Sundari dari Institute Sarinah mengingatkan sebenarnya pihak-pihak yang menolak RUU PPRT tidak memahami substansi dari hadirnya UU PPRT. Menurut Eva, perlu gerak bersama kelompok masyarakat, media massa dan pemangku kepentingan untuk memberi pemahaman kepada pihak-pihak yang menolak kehadiran UU PPRT itu.
Jurnalis senior Saur Hutabarat berpendapat, yang terjadi pada terhambatnya proses legislasi RUU PPRT adalah kemacetan politik, bukan kemacetan pada hati nurani. Saur menilai, hati nurani para pimpinan DPR masih hidup, sehingga masih bisa berharap pengesahan RUU PPRT menjadi Undang-Undang bisa segera direalisasikan. (*)