TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII yang membidangi urusan agama, Hidayat Nur Wahid, mengkritik dan menolak usulan kenaikan biaya haji yang diajukan oleh Menteri Agama pada saat Rapat Kerja Komisi VIII dengan Kemenag, Kamis (19/1). HNW sapaan akrabnya menilai, landasan Kemenag dalam menentukan angka kenaikan biaya haji lemah dan membuat resah calon jemaah.
“Memang ibadah Haji hanya diwajibkan bagi yang mampu, dan memang ada kondisi pembiayaan penyelenggaraan Haji yang menyebabkan biaya haji ditanggung setiap jamaah perlu disesuaikan. Namun penyesuaian tersebut harus berlandaskan perencanaan yang matang, asumsi-asumsi yang riil, dan maksimalisasi lobi dan koordinasi Kemenag dengan pihak Saudi juga dengan BPKH dan Komisi VIII DPR-RI, sehingga pembiayaan Haji tetap mampu dijangkau para calon jemaah Haji. Itulah juga sebagian aspirasi dari calon jemaah haji yang menolak keberatan dengan kenaikan biaya haji yang diusulkan Menag,” disampaikan Hidayat dalam keterangannya di Lombok, Sabtu (21/1).
Apalagi maksimalisasi usaha untuk mendapatkan harga proporsional terkait penyelenggaraan haji, ternyata juga bisa sukses dilakukan, seperti biaya masya’ir yang tahun lalu dinaikkan oleh pihak Saudi menjadi konversi Rp 22 juta, tahun ini bisa turun ke angka normal Rp 5,5 juta. Ini contoh keberhasilan lobi kemenag untuk mengurangi pembiayaan berhaji, yang mestinya terus dilakukan untuk komponen-komponen memberatkan lainnya.
Ditambah ada informasi dari pihak Saudi bahwa biaya penyelenggaraan Haji tahun 2023/1444H turun 30 persen dibanding tahun yang lalu.
“Bila benar demikian, tentu Kemenag akan lebih mampu hadirkan usulan biaya haji yang tidak membuat resah masyarakat, dan tetap memungkinkan jemaah berkemampuan laksanakan rukun Islam ke 5, naik haji,” lanjutnya.
Pada paparannya di DPR, Menteri Agama RI menyampaikan biaya pelaksanaan haji 2023 sebesar Rp 98,3 juta. Dari angka tersebut, Rp 69,1 juta akan ditanggung oleh Jamaah Haji.
Hidayat yang merupakan Anggota DPR-RI Fraksi PKS ini menegaskan, angka yang disampaikan Menag tidak berlandaskan perencanaan yang sesuai dengan perkembangan dan peluang yang ada, sehingga perlu dikritisi dan dikoreksi.
Misalnya soal komponen nilai manfaat yang akan diterima Jamaah, Menag menyebutkan angkanya hanya Rp 5,9 Triliun. Padahal RKAT Keuangan Haji 2023 yang disampaikan Desember 2022 menetapkan Rp 8,1 Triliun, dan update Januari 2023 masih di level Rp 7,1 Triliun.
“Kemenag menurunkan alokasi nilai manfaat tanpa landasan yang jelas, sehingga seolah-olah biaya haji yang ditanggung oleh jamaah harus meningkat sangat signifikan, bahkan dalam usulan Menag naik hampir 2 kali lipat dari yang sebelumnya. Ini tentu patut dikoreksi,” sambungnya.
Hidayat menerangkan, sebagian besar jamaah haji sudah menyetorkan ke bank yang ditunjuk Kemenag, uang pendaftaran sebesar Rp 25 juta, lebih dari 20 tahun. Dan mereka berada pada posisi daftar tunggu di atas 20 tahunan juga. Jika per tahun nilai manfaat rata-ratanya hanya di angka 6% saja, maka hak mereka setelah 20 tahun menyetor ke bank adalah sekitar Rp 80,1 juta. Padahal sebagian besar daftar tunggu calon jemaah haji sudah lebih dari 20 tahun, maka wajarnya hak manfaat yang bisa mereka dapat dari dana haji bisa lebih tinggi lagi.
Apabila sebagian nilai manfaat tersebut diklaim sudah tersalurkan kepada calon jamaah dalam bentuk rekening virtual, misalkan sebesar Rp 5 juta, maka hak mereka berkurang menjadi Rp 75 juta dan hanya perlu melakukan pelunasan sekitar Rp 23 juta per orang, yang artinya mereka tidak perlu dibebani dengan istilah “subsidi” dari Pemerintah, karena semuanya adalah bersumber dari uang setoran calon jemaah haji sendiri yang diamanahkan dikelola oleh BPKH. Sehingga mestinya BPKH juga didorong untuk lebih berhasil di dalam mengelola amanat keuangan haji, sehingga bisa memberikan nilai manfaat yang lebih besar bagi calon Haji.
“Agar kalaupun pada akhirnya tetap terjadi kenaikan biaya pelunasan, namun angka yang ditetapkan harus tetap rasional, tidak melonjak tajam, serta berlandaskan hak riil jamaah yang telah menitipkan uang mereka untuk dikelola oleh BPKH, puluhan tahun lamanya,” sambungnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini menilai, biaya haji yang ditaksir Rp 98 juta per jamaah juga masih berpotensi dikoreksi. Misalnya biaya penerbangan yang disebut Menag adalah Rp 33,9 juta, itu sangat tidak realistis. Hasil pencarian harga tiket PP Jakarta-Jeddah untuk musim haji 2023 (Juni-Juli) berada di kisaran Rp 17-20 Juta, itu harga perorangan, apalagi Pemerintah menerbangkan 221 ribu jamaah, sehingga layak memperoleh harga yang lebih murah.
Di saat yang sama ada tren penurunan harga minyak global yang terus terjadi. Misalnya harga avtur yang dirilis Pertamina untuk bandara Soekarno-Hatta, selama 4 bulan terakhir telah turun dari 95,6 sen/liter di bulan September 2022 menjadi 88,2 sen/liter di akhir Januari 2023. Ini juga berpotensi mengurangi komponen harga penerbangan.
Selain itu, pejabat Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi (15/1) menyampaikan bahwa secara umum harga akomodasi haji tahun ini 30% lebih murah dari tahun lalu. Hal ini lantaran kuota haji sudah kembali ke level sebelum pandemi sehingga skala ekonominya semakin baik.
HNW juga menjelaskan ada beberapa strategi yang layak dikerjakan lagj untuk menekan biaya haji, baik strategi konvensional seperti melakukan kontrak akomodasi-transportasi secepat mungkin agar bisa mendapatkan harga yang lebih rendah, maupun strategi inovatif seperti memangkas masa tinggal jamaah haji Indonesia di Saudi dari 40 hari menjadi 4 minggu (28 hari).
Dalam konteks terobosan itu, HNW juga mengusulkan agar lapangan terbang di Saudi yang menerima maskapai haji bisa diperbanyak selain Jeddah dan Madinah, agar disebar ke beberapa titik/kota lainnya di Saudi seperti Thaif, Qasim dll, bila bandara Jeddah dan Madinah tidak lagi bisa diperbesar kapasitasnya untuk melayani jemaah Haji. Sehingga jemaah haji sesudah melaksanakan ibadah haji, bisa segera pulang dan tidak harus berlama-lama di Saudi dan menambah pembiayaan, hanya karena alasan kepadatan penerbangan di bandara Jeddah maupun Madinah.
“Dengan berbagai rasionalisasi, terobosan dan maksimalisasi upaya itu, maka saya percaya, penyesuaian biaya haji akan lebih berkeadilan, bisa dimengerti dan tidak terlalu memberatkan jamaah. Di saat yang sama Kemenag juga perlu terus mampu melakukan lobi dan negosiasi terkait penyelenggaraan maupun pembiayaan haji, baik dengan Kerajaan Saudi maupun dengan kontraktor akomodasi, konsumsi, dan transportasi, sehingga biaya haji bisa tetap mampu dijangkau, dan tidak membuat resah calon jemaah seperti yang diusulkan Kemenag itu, sekaligus tidak melukai neraca keuangan haji, bahkan mampu menghadirkan solusi agar jemaah tetap bisa berangkat haji menjadi hajinya mabrur dengan doa-doa mereka untuk Indonesia juga maqbul,” pungkasnya.