TRIBUNNEWS.COM - Ketua Wanhat Advokat Muda Indonesia Djafar Ruliansyah Lubis menuturkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. MKD berperan untuk mengawal etika guna menjaga kehormatan kelembagaan dan anggota DPR. Kepercayaan kepada MKD harus tinggi dan itu harus ditunjukan terlebih dahulu oleh anggota MKD itu sendiri untuk menjaga kehormatannya. Karena diharapkan MKD dapat menyelesaikan perkara dengan benar tanpa menimbulkan kesan mengadu domba dan menjatuhkan martabat anggota DPR itu sendiri.
"Bahkan tugas dan fungsi MKD sendiri sejatinya menjadi solusinagar kontrol masyarakat tidak menjadi anarkis, atau tidak menjadi trial by the press. Sidang kode etik harus benar-benar menjadi klarifikasi dan menghindari kriminalisasi anggota DPR serta menjadi penjaga gawang menciptakan demokrasi yang bertanggungjawab terhdap yang diwakilinya. Sehingga MKD seharusnya dalam menindaklanjuti laporan yang masuk harus menganalisa terlebih dahulu apakah laporan masyarakat terhadap anggota dewan benar masuk dalam unsur melanggar etik atau tidak dalam hukum yang berlaku. Benar atau hanya fitnah tanpa bukti. Bukan menganalisa secara politik implisit belaka," jelas Djafar kepada wartawan di Jakarta, Minggu (23/6/24).
Lebih lanjut pengacara yang juga kader muda Partai Golkar ini menegaskan, MKD DPR tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa pimpinan MPR, karena ranahnya berbeda walaupun pimpinan MPR itu juga anggota DPR.
Baca juga: Ketum HIPAKAD Tegaskan Ketidakhadiran Ketua MPR Penuhi Panggilan MKD Sudah Sesuai Aturan
"Yang berhak memeriksa Pimpinan MPR itu bersalah atau tidak, adalah badan kehormatan MPR itu sendiri. Dari sini saja sudah bisa runut bahwa laporan masyarakat terhadap Pimpinan MPR itu cacat Hukum, MKD DPR tidak boleh menabrak hirarki konstitusional," tandasnya.
Djafar mengingatkan MKD DPR lebih baik mempelajari lagi bahwa di Indonesia menganut sistem bikameral konstitusi atau 2 kamar yang berbeda yaitu DPR dan MPR. Sehingga Tupoksi peranannya juga masing-masing berbeda.
Setelah ditetapkan dan dilantik anggota MPR/DPR oleh Mahkamah Agung, maka seluruh anggota dewan diberikan hak kewenangan untuk menentukan sendiri siapa untuk pimpinan DPR dan MPR. Setelah kedua pimpinan lembaga ini dilantik dan diambil sumpah maka dalam menjalankan roda legislatif konstitusi sudah masing-masing yang tidak bisa bertabrakan.
"Nah MKD DPR memanggil pimpinan MPR itu kapasitasnya sebagai apa? Dalam Perundang-undangannya tidak ada kewenangannya itu," katanya.
Djafar menjelaskan tujuan awal dibentuknya MKD agar parlemen mendapatkan DPR berkualitas. DPR mempunyai pengawasan ketat dengan menjadikan para akademisi menjadi hakim ad hoc Mahkamah Kehormatan Dewan, bukan MKD diisi oleh para anggota dewan.
"Jika MKD diisi oleh para anggota dewan, semua pasti mencakup kepentingan. Alias antar anggota dewan itu sendiri yang berseteru. Tidak bisa memilah antara objek hukum dan politik. Kembalikan MKD sebagaimana mestinya dari awal cita-cita berbangsa dan bernegara agar mendapatkan anggota dewan yang berkualitas," tutup Djafar. (*)