TRIBUNNEWS.COM - Proses legislasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) harus dilanjutkan agar upaya untuk memanusiakan manusia bagi para pekerja rumah tangga dapat diwujudkan.
"Tampaknya sosialisasi terkait substansi RUU PPRT dan pasal-pasal krusial di dalamnya masih belum tepat sasaran, sehingga sejumlah hal yang esensial dari RUU itu tidak dipahami oleh masyarakat bahkan pimpinan DPR," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Bedah RUU PPRT: Kajian Hukum Terhentinya Proses Legislasi RUU PPRT di DPR, Bagaimana Solusinya? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (21/8).
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H., L.LM (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Mouliza K Donna Sweinstani (Peneliti Pusris Politik – BRIN), Nursyahbani Katjasungkana (Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK), Pratiwi Febri (Ketua riset dan pengembangan organisasi - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia /YLBHI) dan Dr. Atang Irawan (Pakar Hukum Tata Negara – Ketua DPP Partai NasDem Bidang Legislatif) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Mutiara Ika Pratiwi (Perempuan Mahardhika) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, hingga saat ini masih ada sejumlah pasal dalam RUU PPRT yang belum bisa diterima oleh para pemangku kepentingan.
Rerie, sapaan akrab Lestari mendorong agar berbagai langkah untuk menuntaskan pembahasan RUU PPRT menjadi undang-undang didukung semua pihak.
Pada masa bakti DPR periode 2019-2024 yang tinggal 1,5 bulan lagi, Rerie sangat berharap proses legislasi RUU PPRT bisa terus berjalan.
Sehingga, tambah Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, bila RUU PPRT harus di-carry over ke periode mendatang tidak perlu membahas dari awal lagi.
Peneliti Pusris Politik BRIN, Mouliza K Donna Sweinstani berpendapat berlangsung lamanya pembahasan RUU PPRT karena bila dilihat dari tren proses legislasi seringkali meleset dari target.
Donna malah mengungkapkan sejumlah RUU yang belum selesai dibahas kebanyakan terkait dengan kepentingan perempuan.
Bila diamati, jelas dia, tuntasnya RUU TPKS menjadi undang-undang diwarnai tekanan dari masyarakat sipil dan gerakan perempuan.
Hingga saat ini, ungkap Donna, RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Kesetaraan Gender pun belum dibahas.
"Mungkin pimpinan dewan menganggap tidak penting hal-hal yang terkait dengan kepentingan perempuan," ujarnya.
Berdasarkan pengamatan Donna, sejumlah faktor yang menyebabkan macetnya pembahasan RUU PPRT saat ini antara lain karena ada kesengajaan untuk dihambat, tidak ada political will dari pimpinan DPR, dinilai belum perlu, dan tidak menghasilkan keuntungan elektoral.
Menurut Donna, perlu membentuk public pressure untuk mendorong RUU PPRT segera menjadi undang-undang.
Pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan berpendapat dalam skema politik legislasi dibutuhkan dasar pertimbangan yang jelas untuk mengklasifikasi sejumlah RUU yang masuk ke dalam prolegnas.
Bila dasar pertimbangannya jelas, tegas Atang, akan sangat mudah untuk menentukan skala prioritas antara RUU satu dengan lainnya dalam suatu proses legislasi.
Diakui Atang, proses legislasi RUU PPRT terlalu lambat. Atang menilai konsep kolektif kolegial sejatinya berlaku pada pimpinan DPR, karena antara ketua dan wakil ketua memiliki kewenangan yang sama.
Sehingga bila Ketua DPR berhalangan, tambah dia, bila jumlah pimpinan lain sudah quorum bisa segera melanjutkan proses legislasi dengan membahas di tingkat Bamus.
Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK, Nursyahbani Katjasungkana mengungkapkan ide awal terkait kepemimpinan perempuan sejatinya sudah didorong sejak proses legislasi UU Pemilu dan UU Partai Politik agar partisipasi perempuan di bidang politik meningkat.
Menurut Nursyahbani, bekerja untuk memperjuangkan kepentingan politik perempuan tidak akan efektif bila tidak melihat persoalan perempuan lain yang rentan dan marjinal.
Dalam kasus terhambatnya proses legislasi RUU PPRT, Nursyabani menilai ada krisis ethic of care atau krisis kepedulian dari kepemimpinan di DPR.
Dia menyarankan untuk terus melakukan lobi kepada pimpinan DPR agar proses pembahasan RUU PPRT bisa dituntaskan.
Selain itu, Nursyahbani juga mendorong agar masyarakat mengajukan citizen lawsuit untuk menuntut keadilan atas terhambatnya proses pembahasan RUU PPRT.
Kepala Riset dan Pengembangan Organisasi YLBHI, Pratiwi Febri berpendapat RUU PPRT merupakan pilihan aturan hukum yang bisa diupayakan untuk melindungi pekerja rumah tangga.
Menurut Pratiwi, menghambat proses pembahasan RUU PPRT merupakan kejahatan kemanusiaan. Karena berdasarkan catatannya pada tahun ini hingga Juni 2024, terdapat 3.627 kasus pelanggaran hak pekerja rumah tangga.
"Dalam enam bulan terakhir saja kita seharusnya bisa memahami pentingnya kehadiran UU PPRT untuk melindungi para pekerja rumah tangga," tegas Pratiwi.
Dia menilai hambatan pembahasan RUU PPRT bukan semata problem legislasi, tetapi ada penyebab yang lebih besar daripada itu.
Aktivis Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi sepakat sangat keterlaluan bila para wakil rakyat tidak memahami pentingnya RUU PPRT, karena daftar inventarisasi masalah (DIM) sudah sejak tahun lalu dikirim pemerintah ke DPR.
Sehingga, tegas Mutiara, tidak ada hal substansial yang bisa menjadi alasan mengapa RUU PPRT tidak dibahas.
Mutiara berpendapat terhambatnya proses pembahasan RUU PPRT karena adanya krisis ideologi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat untuk mendorong proses pembahasan RUU PPRT terus berlanjut, tekanan harus terus dilakukan.
Saur menilai terhambatnya proses legislasi RUU PPRT di DPR disebabkan para elite di parlemen itu tidak mau kehilangan statusnya sebagai Ndoro.
Jadi yang mendasari proses legislasi RUU PPRT hingga 20 tahun itu, jelas Saur, sikap feodalisme yang masih kuat pada para elite di DPR. (*)