TRIBUNNEWS.COM - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) merupakan terobosan segar dalam administrasi perpajakan.
Pertama, teknik penyusunan beleid ini menggunakan metode sapu jagad atau omnibus law. Sejumlah UU perpajakan yang sebelumnya "terserak", direvisi serta "diikat" menjadi satu bundel, sekaligus menambah materi baru.
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM), serta Cukai, merupakan bab-bab yang berasal dari sejumlah undang-undang perpajakan yang telah ada.
Sementara itu, Program Pengungkapan Sukarela (PPS), serta Pajak Karbon, merupakan materi anyar yang diinsersi ke dalam UU HPP tersebut. Kendati demikian, dapat dibilang bahwa PPS merupakan modifikasi dari program pengampunan pajak (tax amnesty) yang sebelumnya telah digulirkan pada 2016-2017.
Kedua, dalam klaster KUP, diatur bahwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baik pemadanan oleh sistem maupun validasi secara mandiri oleh wajib pajak, telah mengantongi lebih dari 99 persen atau lebih dari 75 juta NIK-NPWP yang telah padan, menurut data DJP per Oktober 2024.
Pemadanan NIK menjadi NPWP merupakan dukungan Kementerian Keuangan bersama DJP terhadap Satu Data Indonesia. Satu Data Indonesia merupakan kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 (Perpres 39/2019).
Menurut Pasal 1 angka 1 Perpres 39/2019, Satu Data Indonesia adalah kebijakan tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar-instansi pusat dan instansi daerah melalui pemenuhan standar data, metadata, interoperabilitas data, dan menggunakan kode referensi dan data induk.
Mengejawantahkan kebijakan Satu Data Indonesia serta pelaksanaan UU HPP klaster KUP tersebut, dengan kerja bersama, pemerintah merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah (selanjutnya disebut PMK 112/2022).
Kemudian, PMK 112/2022 diperbarui dengan PMK Nomor 136 Tahun 2023 (selanjutnya disebut PMK 136/2023).Terbitnya PMK 112/2022 jo. PMK 136/2023 ini setidaknya memiliki tiga tujuan.
Pertama, untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam penggunaan NIK sebagai NPWP. Kedua, untuk memberikan kesetaraan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif bagi WP selain WP OP yang merupakan penduduk Indonesia yang menggunakan NIK sebagai NPWP.
Ketiga, guna mendukung kebijakan Satu Data Indonesia tersebut, dengan mengatur pencantuman nomor identitas tunggal (Single Identity Number atau SIN) yang terstandardisasi dan terintegrasi dalam pelayanan administrasi perpajakan.
Akhirnya, wacana penerapan SIN sejak lama, terlaksana juga, setidaknya di bidang administrasi perpajakan.
Sebagai pelaksanaan PMK 112/2022 jo. PMK 136/2023 tersebut, DJP menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 6/PJ/2024 tentang Penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak dengan Format 16 (Enam Belas) Digit, dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha Dalam Layanan Administrasi Perpajakan. Menurut ketentuan tersebut, mulai tanggal 1 Juli 2024, NIK mulai digunakan sebagai NPWP.
Sejak saat itulah, berbagai layanan administrasi perpajakan secara bertahap, antara lain pendaftaran, pengelolaan profil wajib pajak, pembuatan bukti pemotongan/pemungutan (bupot), pengajuan keberatan, Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), permohonan pemindahbukuan, pelaporan Surat Pemberitahuan (e-filing), dan sebagainya, telah mengakomodasi NIK sebagai NPWP.