Tribunnews.com - Malam sunyi dan sejuk di perbukitan Menoreh, Kulonprogo. Seorang pria bersarung dan mengenakan hem batik warna biru tersenyum ramah menyambut tetamu yang hadir di rumahnya. Dusun Madugondo, desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh Kulonprogo, Yogyakarta.
Lelaki berkumis itulah Pak Rohmat. Dia termasuk lelaki pemberani. Bukan berani dalam hal yang aneh-aneh, tetapi berani mencoba hal baru di dusunnya, yang begitu jauh dari ingar-bingar perkotaan.
Membuka warung kopi di rumahnya yang sepi, sungguh memerlukan nyali yang dahsyat. Pertanyaanya adalah: siapa mau minum kopi di kedainya yang jauh dari jangkauan?
Di samping rumahnya memang jalan beraspal mulus membelah perbukitan Menoreh. Tetapi malam itu, kendaraan yang lalu lalang di jalan yang persis terletak di atas rumah Pak Rohmat bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Sepeda motor maupun mobil, nyaris taka ada yang melintas malam itu.
Tetapi Pak Rohmat begitu yakin, kopi adalah jalan hidupnya. "Saya memulai tiga tahun lalu, di awal-awal buka paling satu dua orang yang mampir ke sini," katanya memulai perbincangan.
Belakangan yang berdatangan semakin banyak. "Nggak banyak juga, rata-rata 25 orang per hari," katanya.
Warung kopi Pak Rohmat terbilang sangat sederhana. Meja terbuat dari susunana bambu, tempat duduk kayu. Ada sebuah gazebo di belakang rumah yang bisa ditempati 10 tamu. Sedangkan susunan bambu panjang dengan deretan meja kayu, diletakkan di bagian belakang rumah.
Di sebelah kiri rumah Pak Rohmat yang sekaligus menjadi warung kopinya, ada dapur. "Di situ kopi disiapkan," kata Pak Rohmat sebelum kopi pesanan kami dihidangkan.
Terdengar suara orang sedang menggoreng sesuatu. Arema gorengan tertiup hingga gazebi tempat kami duduk menanti kopi. Pak Rohmat yang sedari tadi menyambut kami dari halaman hingga gazebo minta izin meninggalkan kami.
Tak lama kemudian seorang lelaki membawa nampan berisi beberapa gelas. Kopi pahit rebus ditaruh di gelas paling besar. Sedangkan tiga gelas kecil berisi gula pasir, beeberapa potong gula kelapa, dan bumbu cocolan.
Masih ada satu lagi, kotak kecil berisi empat jenis camilan: Kacang rebus, singkong kukus, tahu isi goreng, dan geblek goreng (makanan kas Kulonprogo semacam cireng, tapi dibentuk seperti angka 8).
"Silakan dinikmati, ini kopi robusta hasil kebun saya sendiri, saya petik sendiri, saya olah sendiri, saya sangrai sendiri, saya haluskan sendiri dan direbus oleh istri saya," kata Pak Rohmat.
Lalu Pak Rohmat dengan senang hati bercerita tentang kebun kopinya yang tidak luas. "Saya hanya punya 300 batang kopi. Dulu setiap panen saya jual ke bakul kopi, atau pengepul. Tetapi belakangan ini, hasil kebun saya terasa kurang untuk memenuhi permintaan kopi dari tamu-tamu di sini," katanya.
Pak Rohmat belakangan ini, semenjak banyak tamu berkunjung ke kedainya, terpaksa membeli kopi milik tetangga. "Jenisnya sama dengan kopi saya, robusta," katanya. Pak Rohmat biasa menyajikan kopi dengan cara direbus, bukan kopi tubruk seperti kedai kopi lain di Jawa.