"Sebagian besar bahan kimia yang digunakan dalam pewarnaan atau pencelupan kain, dan diakhiri dengan penjahitan benang yang diproses dengan peralatan berputar bisa meninggalkan bahan kimia yang rentan melukai kulit," terangnya.
Selanjutnya, Hogue menjabarkan bahwa proses pembuatan tekstil melibatkan banyak bahan kimia.
"Umumnya tekstil yang dibuat di lingkungan komersial menciptakan hasil tekstil yang telah terekspos dengan pelembab. Kemudian, untuk mencegah tumbuh jamur, bahan kain pun disemprotkan dengan anti-jamur dan cairan kimia untuk membuat kain tidak licin ketika dijahit," paparnya.
Kemudian, Donald Belsito, seorang profesor dermatologi di Columbia University Medical Center, New York, AS, mengatakan pada The Wall Street Journal bahwa proses pembuatan baju memang rentan terekspos bakteri, mulai dari pabrik, fase penjahitan, hingga sampai di kamar ganti.
Kutu, bakteri, dan jamur, merupakan sumber penyakit kulit yang bisa ditemukan pada baju baru.
"Aku sering memiliki pasien yang memiliki kutu yang didapat dari pertukaran baju baru di ruang ganti. Selain itu, ada sejumlah virus menular yang berpeluang berpindah-pindah dari baju baru," jelas Belsito.