TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sepertinya emosi emang langsung angkat bicara dalam soal beginian. Gara-gara sakit hati tak tertahankan! Cuma, kalo dipikir-pikir kadang sering lebay ya reaksinya?
"Kalo diambil benang merahnya, di dalam cinta segitiga emang ada seseorang yang tersakiti dan menyakiti. Bagi yang tersakiti, ya normal aja kalo marah," kata Dra. Yudiana Ratnasari, M. Psikolog yang juga staf pengajar di Psikologi Klinis di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Dia melanjutkan, "namanya juga sakit! Namun, kalo selanjutnya sikap dan tindakannya jadi berlebihan, itu kembali pada pribadi masing-masing. Kembali pada nilai-nilai yang dianut oleh orang tersebut, kembali pada pemaknaannya terhadap komitmen yang telah disepakati bersama dengan pacarnya, serta kembali pada bagaimana cara dia untuk mengatasi sebuah situasi emosional."
Tapi, kenapa sekarang kasus cinta segitiga seperti menjamur ya? Udah gitu lebih nekat pula!
Baca: Tidak Hadiri Undangan Pansus, Wakil Ketua KPK Kirim Salam
"Ah, kalo soal menjamur atau nggak, saya rasa sama aja dengan tahun-tahun sebelumnya. Bedanya hanya, sekarang lebih terekspos oleh media, hingga kesannya kasusnya lebih banyak! Nah, karena lebih terekspos, efek negatifnya bukan nggak mungkin orang lain yang mengalami maaslah yang sama jadi seolah dapat influence untuk menyelesaikan masalahnya dengan solusi yang sama, yang sebenarnya sebuah solusi yang keliru," tambah Bu Sari lagi.
Kata Bu Sari, reaksi berlebihan alias reaksi ekstrim kayak gini ini jelas bakal menimbulkan efek sangat buruk buat semua yang terlibat di dalamnya: pelaku, korban, juga orang ketiga tersebut.
"Kekerasan atau semacam itu dapat meninggalkan trauma bagi mereka semua! Dan, trauma itu akan terus menempel dalam keseharian mereka. Imbasnya, bisa bikin mereka jadi terbiasa melakukan kekerasan serta ketakutan untuk menjalin sebuah hubungan cinta yang sesungguhnya di kemudian hari," beber Bu Sari seraya menutup penjelasannya.