Temuan mutakhir yang dilakukan oleh Michael Bailey (2013) menemukan adanya jejak genetik yang dimiliki para lelaki homoseksual, yaitu sebuah bagian dari kromosom yang diberi kode Xq28.
Bailey juga menyimpulkan bahwa pengaruh faktor disposisi (genetika) itu terhadap pembentukan orientasi homoseksual adalah maksimal 40 persen.
Mengacu pada hasil riset tersebut, berarti masih ada sedikitnya 60 persen lagi, yaitu faktor stimulasi lingkungan, yang juga memengaruhi bahkan lebih dominan terhadap pembentukan orientasi seksual menyimpang tersebut.
Temuan Bailey mematahkan seluruh klaim bahwa menjadi homoseksual adalah sesuatu yang terkodratkan (given).
Dalih bahwa Tuhan yang mengukir garis tangan seseorang untuk berketertarikan seksual terhadap sesama jenis kelamin, dengan demikian, sah dianggap sebagai sangat keliru.
Karena itu sama saja dengan mengambinghitamkan Tuhan sebagai biang keladi kebejatan manusia.
Menjadi orang dengan orientasi seksual yang keliru, antara lain homoseksual, ternyata lebih ditentukan oleh proses belajar sosial.
Dengan demikian, siapa pun yang ingin melakukan proses belajar ulang pasti dapat menjadi heteroseksual.
Mengapa pasti? Tak lain karena menjadi heteroseksual adalah satu-satunya kodrat ketertarikan yang Tuhan tanamkan ke dalam hati insan, dan kodrat itu niscaya adalah kebaikan.
Alhasil, tidak ada alasan sedikitpun untuk bertahan pada orientasi homoseksual.
Dengan demikian, isunya sekarang adalah pada kepercayaan diri kita semua--yang berketuhanan Yang Maha Esa--untuk menentang homoseksual.
Termasuk kepercayaan diri untuk memidanakan mereka secara berjenjang.
Pertama, jika orang homoseksual diam, sehingga kita tidak mengetahui abnormalitas mereka, maka apa boleh buat.
Kedua, apabila mereka angkat suara dan ingin dibantu menjadi heteroseksual, negara akan mendukung sebagaimana bantuan diberikan bagi para penyalahguna narkoba yang menyerahkan diri.