"Tulisan begini ini banyak mewakili banyak anak lain, toh jika ini benar dari satu anak saja," ucapnya.
Yudi melanjutkan, pada dasarnya anak tidak suka mendapatkan perlakukan kasar, baik secara fisik maupun verbal.
Sedangkan dorongan untuk menuliskan curhatan di media kertas bisa dipicu dari ketakutan anak kepada orang tuanya sendiri.
"Dia tidak berani menyampaikan curhatan itu ke orang tua. Karena ia menganggap dirinya selalu kalah, sedangkan orang tuanya selalu menang,"imbuhnya.
Baca: 522 Psikolog Siap Beri Konseling kepada Masyarakat Terdampak Corona
Yudi menilai terdapat sejumlah faktor pendorong orang tua melakukan kekerasan fisik atau verbal kepada anaknya.
Ia mengatakan faktor utamanya adalah minimnya pemahaman orang tua terhadap pengetahuan soal pola pengasuhan anak.
"Persoalannya jika ditarik mundur ya panjang. Sebelum menikah tidak cukup bekal pembelajaran misalnya."
"Termasuk orang tua tidak memahami psikologis perkembangan anaknya," ujarnya.
Faktor lain juga bisa datang dari pengalaman terdahulu orang tua ketika masih menjadi seorang anak.
"Meng-copy apa yang dilakukan orang tuanya dulu, padahal kan bisa jadi persoalannya berbeda," kata Yudi.
Namun, Yudi juga tidak menutup mata kekerasan fisik dan verbal tidak selalu berasal dari niatan buruk.
Bisa jadi ketika orang tua melakukan kekerasan didasari ingin memberikan hal terbaik kepada anak.
Sehingga anak bisa menjadi apa yang diharapkan oleh orang tuanya.
"Bisa jadi tujuannya baik, tapi caranya itu yang tidak benar. Ya yang benar itu tujuannya baik sekaligus caranya," tandasnya.
Baca: Psikolog Saran Lakukan Ini Untuk Menenangkan Seseorang yang Jadi Korban KDRT