Proses awal pembuatan lanjut Ni Putu biasanya para perajin memintal sendiri kapas. Untuk teknik pewarnaan juga dilakukan sendiri dengan memakan waktu hingga satu bulan.
"Khususnya warna kuning yang baru terlihat setelah diproses lebih dari satu bulan. Sementara warna merah bisa diproses lebih singkat," ujar Ni Putu.
"Ini kan tujuannya agar benar-benar menyerap sampai ke serat-seratnya. Makanya dijamin tidak akan luntur walau pakai bahan alami.
Jadi, tetap bagus kan awet," tambahnya.
Turis luar negeri yang menggemari kain gringsing kata dia banyak berasal dari Eropa. Mereka biasanya memborong hingga 40 kain sekaligus unik dibawa ke negaranya.
Harga yang dipatok Ni Putu untuk kain gringsing tersebut mulai dari 350 ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah.
Perempuan yang mempromosikan kain hasil tenunannya di media sosial itu juga membenarkan kain gringsing memang biasa dipakai untuk upacara adat.
"Jadi ada yang memang dipakai untuk upacara adat dan tidak sembarangan bisa dipakai," kata dia.
Ni Putu sempat berkeluh kesah kepada Tribun mengenai pandemi covid 19 yang sangat memukul ekonomi para perajin.
Selama hampir satu tahun tidak ada turis domestik ataupun asing yang mengunjungi desa Tenganan. Pemasukan mereka pun berkurang drastis.
Tak ayal untuk menyambung hidup mereka rela meminjam uang ke bank untuk menambah modal dan bekerja serabutan hingga bertani.
Bantuan dari pemerintah kata Ni Putu juga diberikan seperti beras dan sembako."Pinjam ke bank dulu. Tapi pakai buat yang penting," ujar Ni Putu. (Willy Widianto)