Sejauh ini, pakaian pengantin Kotogadang cukup mampu bertahan tanpa ada perubahan yang membuatnya melenceng jauh dari keasliannya.
Namun, di sisi lain masih banyak ketidaktahuan yang mengancam kelestarian identitas pakaian pengantin Kotogadang.
“Kami ingin meluruskan tata cara pemakaian pakaian pengantin Kotogadang yang sudah melenceng sehingga mengancam kelestariannya. Tidak dapat dimungkiri, usaha ini tidak akan mudah karena melibatkan banyak hal bagi pemakainya," ujar Yetty Budiarman, Ketua Umum Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang.
Antara lain, biaya, aspek fashion, dan selera pemakai.
"Tapi kami tetap berusaha untuk melakukan pelestarian pakaian pengantin adat Kotogadang untuk generasi penerus Kotogadang, maupun pihak lain yang menyukai pakaian tersebut,” jelas Yetty Budiarman.
Kendala lain yang juga menjadi perhatian dalam melestarikan pakaian pengantin Kotogadang diungkapkan oleh Halmiati Juni, Dewan Pengawas Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang.
“Karena diwariskan secara turun temurun, seiring perjalanan waktu, ada saja detail-detail yang tidak tersampaikan atau mungkin terabaikan," ujarnya.
Akibatnya, masih banyak salah kaprah yang terjadi dalam memakai pakaian pengantin Kotogadang.
"Selain itu, masih banyak yang mengabaikan kelengkapan dan tata cara pemakaian pakaian pengantin Kotogadang,” jelas Halmiati yang juga tampil sebagai pembicara.
Halmiati menjelaskan bahwa Kelengkapan dan tata cara pemakaian pakaian pengantin Kotogadang yang berlaku dalam tradisi masyarakat Kotogadang tidak dapat diabaikan.
Karena, hal-hal yang mendasar itulah yang membentuk identitas tersendiri bagi pakaian pengantin Kotogadang, sekaligus membedakannya dengan pakaian pengantin adat daerah lain.
Di balik pakaian pengantin Kotogadang juga terkandung prinsip yang tidak dapat diabaikan.
“Prinsipnya tidak meninggalkan ajaran agama, serba tertutup. Tidak ketat. Langan laweh (tangan lebar), badan lapang (badan longgar). Pakaian pengantin Kotogadang itu filosofinya, serba bataratik (tertib), badacak (patut),” jelas Srirayani Irwan, pembicara yang juga aktif sebagai Ketua Bidang Produksi dan Promosi Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang.
Menurut Srirayani, penutup kepala pengantin wanita Kotogadang yang disebut masyarakat kebanyakan sebagai kerudung, sebetulnya tidak tepat.