Menurutnya, informasi yang lebih banyak diterima masyarakat adalah iklan yang ditayangkan di TV dan medsos yang muatannya hanya buat jualan.
“Ini yang akhirnya menyebabkan yang sampai ke masyarakat itu, ya susu kental manis. Iklannya pun memvisualisasikan anak-anak yang minum, padahal anak-anak kan nggak boleh minum SKM,” tandasnya.
Dia pun meminta agar Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), harus menjadi wasit yang adil dalam mengatur iklan-ikan SKM ini.
Selain mengatur perekonomian perdagangan di negara ini, mereka juga harus memiliki aturan main yang tidak merugikan kesehatan ibu dan anak.
“Jadi, iklan-iklan produk-produk yang mengganggu kesehatan bayi dan anak seperti SKM ini, sebaiknya juga diatur supaya tidak membuat masyarakat bingung dan termakan iklan-iklan yang klaim-klaim kesehatannya sangat berlebihan,” ucapnya.
Karenanya, dia meminta agar tulisan di kaleng SKM itu, tulisan "perhatikan! tidak untuk menggantikan air susu ibu, tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan, tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi", harus dibuat besar agar mudah dibaca dengan jelas.
“Di depan mereknya, tulisan pada kotak peringatan itu harus sudah kelihatan dengan jelas di kalengnya. Hal ini penting supaya masyarakat sadar bahwa SKM itu bukan produk yang bisa menggantikan ASI, karena ASI itu memang tidak tergantikan,” katanya.
Untuk membantu pemerintah mencegah masyarakat memberikan SKM kepada para bayi dan anak mereka, menurut Nia, AIMI ikut memberikan edukasi ke masyarakat. “Kita selalu mensosialisasikan tentang pentingnya menyusui bayi, resikonya kalau tidak menyusui itu apa, dan menjelaskan mengenai dampak dari kandungan gula yang tinggi dari manakanan dan minuman jika diberikan kepada bayi dan anak-anak,” tuturnya.
Selain pengaruh iklan, menurut Nia, penyebab lain tingginya pemberian konsumsi SKM kepada bayi dan anak-anak adalah karena pemberian cuti maternitas atau pasca melahirkan yang sangat pendek -hanya 1,5 bulan- dari perusahaan.
Hal ini menyebabkan para ibu yang bekerja khususnya di pabrik-pabrik tidak memiliki kesempatan yang lebih panjang untuk menyusui bayi-bayi mereka.
“Artinya, waktu habis melahirkan itu mereka tidak disupport untuk bisa menyusui. Akibatnya, karena kehidupan ekonominya yang tidak mampu untuk memberikan susu mahal kepada bayi mereka, maka mereka pun akhirnya memberikan susu kental manis yang harganya lebih murah."
"Mereka berpikir SKM itu sama saja dengan susu-susu lainnya karena ada kata susunya. Padahal SKM itu isinya gula doang, yang bisa menyebabkan kurang gizi bayi-bayi mereka,” katanya.
Dia pun menyarankan agar Kementerian Ketenagakerjaan harus mempertimbangkan tentang cuti maternitas bagi ibu melahirkan.
“Masak kita kalah dari Vietnam, yang meski mereka ekonominya lebih lambat dari kita, tapi cuti maternitasnya sudah 6 bulan di sana. Nah, ini juga harus diatur,” ucapnya.