TRIBUNNEWS.COM - Pernikahan dini masih marak di Indonesia meski risiko yang ditanggung tidaklah main-main.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 jumlah pernikahan dini atau pernikahan anak pada tahun 2019 sebanyak 10,82 persen.
Kemudian pada tahun 2020 menurun walaupun tidak signifikan yaitu 10,18 persen.
Pernikahan anak banyak terjadi di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan.
Baca juga: Pendidikan Masa Pandemi Harus Utamakan Kesehatan dan Psikologis Anak
Pada tahun 2020, sebanyak 15,24 persen pernikahan anak terjadi di wilayah perdesaan dan 6,82 persen di perkotaan.
Saat pandemi, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama juga mencatat ada lebih dari 34 ribu dispensasi pernikahan sepanjang Januari-Juni 2020.
Dari jumlah yang disebutkan sebelumnya, angka anak di bawah umur yang mengajukan kompensasi lebih dari 60 persen, sebagian besar adalah wanita.
Jika hal tersebut terus terjadi, ada banyak hal yang berdampak. Mulai dari sistem reproduksi yang belum siap sampai dengan risiko tingkat sosial atau ekonomi rendah.
Ada banyak faktor yang menyebabkan perempuan Indonesia terpaksa memilih untuk menjalani pernikahan dini seperti diulas oleh Wahana Visi Indonesia:
Kesulitan Ekonomi
Faktor pertama yang menyebabkan pernikahan dini adalah ekonomi.
Tidak bisa dipungkiri, sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan memiliki banyak anak.
Guna mengurangi beban, tidak jarang para orangtua memutuskan untuk menikahkan anaknya.
Baca juga: Psikolog Sebut Anak Paling Rentan Secara Fisik dan Psikis Selama Pandemi Covid-19
Tidak hanya itu saja alasannya, masih banyak orangtua yang menikahkan anaknya di usia dini dengan menjodohkannya dengan pria kaya, bahkan rentang usianya jauh berbeda.