Hal itu, jelas Prof Bagong menunjukkan bahwa mata rantai kemiskinan memang sulit diputus.
“Karena keluarga miskin tidak memiliki modal ekonomi yang cukup dan tidak sekolah dengan baik, ujung-ujungnya dia kembali miskin. Peluang mereka untuk naik kelas tidak bisa ditembus karena tidak punya modal sosial dan ekonomi yang cukup,” paparnya.
Dekan FISIP UNAIR itu juga menyampaikan, selain faktor struktural yang tidak ramah, kebijakan pemerintah bersifat meritokrasi.
Di mana belum berpihak untuk melindungi si miskin.
Seperti yang terjadi di Kota Bontang.
Pemda melarang waralaba seperti Indomaret dan Alfamart masuk.
Hasilnya, usaha-usaha kecil dari masyarakat setempat tumbuh.
“Kebijakan meritokrasi itu intinya orang miskin diberi bantuan, soal bagaimana mereka bertahan hidup menghadapi struktur yang kompetitif terserah pada semangatnya orang miskin,” imbuhnya.
Prof Bagong menjelaskan, kemunculan istilah miskin sendiri berkaitan erat dengan stratifikasi (Pengelompokkan anggota masyarakat secara vertikal, Red) dan kesadaran kelas.