TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) diperbolehkan sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye.
Hal itu sesuai bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan, Selasa (15/8/2023).
Keputusan MK soal kampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan tersebut menuai kritik dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, menyampaikan fasilitas pendidikan, sebagaimana tempat ibadah dan fasilitas pemerintah, semestinya steril dari kepentingan politik praktis.
"Larangan penggunaan ketiga jenis sarana tersebut harus bersifat mutlak tanpa syarat," kata Retno dalam keterangannya, Senin (21/8/2023), dilansir Kompas.com.
"Apabila MK berdalil bahwa tempat ibadah tidak layak digunakan untuk kepentingan kampanye tanpa syarat karena menjadi salah satu upaya untuk mengarahkan masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila, begitu pun seharusnya dengan tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah," jelasnya.
Baca juga: MK Bolehkan Kampanye di Fasilitas Pendidikan, Menko PMK: Jadi Tak Kondusif, Masih Banyak Tempat Lain
Respons MK
Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) MK, Fajar Laksono, menegaskan tak ingin mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi.
Fajar memaparkan, apa yang sudah diputus berarti harus dilaksanakan.
"Saya enggak mengomentari putusan ya."
"Itu sudah diputus MK, berarti itu yang harus dilaksanakan," ungkapnya di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2023).
Menurutnya, putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 itu harus ditaati para penegak Undang-Undang (UU) dan eksekutif.
"Dan tugas melaksanakan keputusan itu tugasnya para penegak UU juga eksekutif."
"Jadi UU yang sudah diputus dengan dilengkapi dengan putusan MK, itulah yang berlaku," terangnya.
Baca juga: MK Bolehkan Kampanye di Fasilitas Pemerintahan dan Pendidikan, Mahfud MD: Biar Itu Direspons KPU
Dikhawatirkan Mengganggu Proses Pembelajaran
Sebelumnya, Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkhawatirkan kampanye di lingkungan pendidikan dapat mengganggu proses pembelajaran.