TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu, Partai Demokrat resmi keluar dari Koalisi Perubahan dan tidak akan mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) di Pemilu 2024.
Dengan keluarnya Demokrat, hal ini membuat peta kekuatan para capres yang akan bertarung di Pilpres 2024 juga ikut berubah.
Lantas, bagaimana peta kekuatan terbaru andaikan Demokrat bergabung dengan PDIP untuk mendukung Ganjar Pranowo?
Hingga saat ini, Demokrat belum memutuskan, bagaimana dan ke mana langkah mereka selanjutnya.
Apakah bergabung dengan koalisi lain yang sudah ada di luar Koalisi Perubahan atau membentuk poros alias koalisi baru?
Baca juga: Demokrat Ingin Bertemu dengan Megawati dan Prabowo, Herman Khaeron: Mudah-mudahan Dalam Waktu Dekat
Namun, Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, mengatakan, partainya kini memilih akan fokus dengan koalisi yang sudah ada.
Artinya, pilihan Demokrat saat ini adalah bergabung dengan koalisi yang mengusung Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto.
"Sementara ini pilihan paling realistis adalah bergabung dengan poros yang sudah ada, ada Pak Ganjar Pranowo dan Pak Prabowo Subianto."
"Porosnya Pak Ganjar diusung temen-temen PDIP yang diketuai oleh Ibu Megawati Soekarnoputri, sedangkan porosnya Pak Prabowo ada Gerindra, Golkar, PAN," ungkap Herzaky, di kanal YouTube Tribunnews.com, Kamis (8/9/2023).
Di sisi lain, hubungan antara Demokrat dengan PDIP juga disebut semakin membaik.
Hal tersebut membuat peluang Demokrat untuk begabung dengan PDIP, juga perlahan mulai terbuka.
Nah, jika pada akhirnya Demokrat bergabung dengan PDIP, maka peta kekuatan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024 sudah pasti berubah.
Saat ini, Ganjar Pranowo telah resmi diusung oleh PDIP dan PPP.
Baca juga: Soal Peluang Demokrat Bentuk Poros Baru, Herzaky: Fokus Koalisi yang Sudah Ada, Ganjar atau Prabowo
Saat Pemilu 2019, PDIP meraih 19,33 persen suara dengan jumlah kursi di DPR RI sebanyak 128 kursi.
Sementara, PPP meraup 4,52 persen atau mendapat 19 kursi di DPR RI.
Sehingga jika dijumlahkan, maka perolehan suara PDIP dan PPP mencapai 23,85 persen atau 147 kursi di Parlemen.
Persentase itu sudah melampaui ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR hasil pemilu sebelumnya.
Hal ini telah ditetapkan dalam Pasal 222 Undang Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Di luar partai yang mendapat kursi di Parlemen, mantan Gubernur Jawa Tengah itu juga didukung oleh dua partai non-parlemen yaitu Partai Hanura dan Partai Perindo.
Sementara, bila Demokrat bergabung ke koalisi PDIP-PPP, maka 'kekuatan' Ganjar akan mendapat tambahan.
Sebab berdasar hasil Pemilu 2019, Demokrat mendapatkan suara sebanyak 7,77 persen dengan jumlah kursi di DPR sebanyak 54.
Bila digabungkan dengan PDIP dan PPP, maka perolehan suara yang didapat koalisi ini sebanyak 31,62 persen.
Jika perolehan kursi parlemen digabungkan, mereka mempunyai 201 kursi.
Jumlah ini selisih enam kursi dengan parpol koalisi yang mengusung Prabowo Subianto.
Baca juga: Pilpres 2024 Kali Ketiga Prabowo Subianto Capres, Berikut Perolehan Suaranya di Pilpres 2014-2019
Menurut hasil Pemilu 2019, Gerindra mendapatkan 12,57 persen suara dengan 78 kursi di DPR RI.
Sementara, Golkar meraih 12,31 persen suara (85 kursi) dan PAN meraih 6,84 persen suara (44 kursi).
Jika perolehan kursi parlemen digabungkan, Gerindra, Golkar, dan PAN memiliki 207 kursi.
Atau secara persentase perolehan suara sebanyak 31,72 persen.
Selain tiga parpol parlemen, Menteri Pertahanan itu juga didukung oleh sejumlah partai non-parlemen.
Yaitu Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Aceh dengan status partai lokal.
Yang perlu digarisbawahi, ini adalah hitung-hitungan andaikan nanti Demokrat jadi 'bergandengan tangan' dengan PDIP dan PPP untuk mengusung Ganjar.
Apabila Demokrat memilih mendukung Prabowo, maka hitung-hitungan di atas, juga sudah pasti akan berubah.
Hubungan Demokrat dan PDIP Semakin Membaik
Sementara itu, anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Sjarifuddin Hasan alias Syarief Hasan, tak menampik, hubungan partainya dengan PDIP semakin baik.
Meski dia menyadari Partai Demokrat selalu berseberangan dengan PDIP dalam posisi di pemerintah sejak tahun 2004.
Hal itu terlihat saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI periode 2004-2014. PDIP, kala itu, berada di luar pemerintahan.
Sebaliknya, hal yang sama juga dilakukan Partai Demokrat yang berada di luar pemerintahan saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin pemerintahan selama periode 2014-2024.
Hal itu disampaikan Syarief Hasan saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews.com, Palmerah, Jakarta, Jumat (8/9/2023).
"Ya memang kalau lihat perjalannya sejak tahun 2004 sampai sekarang, kelihatannya Partai Demokrat (dengan PDIP) memang semakin bagus."
"Komunikasi kita memang selama ini selalu terjaga dan setiap kita juga banyak berkoalisi di daerah," kata Syarief Hasan.
Terkait koalisi Partai Demokrat dan PDIP di daerah, Syarief menyinggung soal dukungan partai pimpinan Ketua Umum, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kepada Ganjar Pranowo.
Pada Pilkada Jawa Tengah 2018, Partai Demokrat mendukung pasangan Ganjar Pranowo dan Taj Yasin.
"Pilkada terakhir di Jawa Tengah, Pak Ganjar maju calon Gubenur periode kedua kita dukung oleh Partai Demokrat," terang Syarief.
Wakil Ketua MPR RI ini pun mengatakan bahwa kedekatan dengan PDIP bukan hal yang asing bagi Partai Demokrat.
Sehingga Syarief menyebut hubungan dan komunikasi Partai Demokrat dan PDIP sangat baik.
Bahkan dari tingkat elite DPP hingga jajaran di tingkat daerah.
"Bukan barang asing, jadi kita sudah cukup lama berkolaborasi dengan PDIP."
"Jadi tidak heran kalau komunikasi kita sangat bagus, mulai dari elite partai hingga konsituen hingga di daerah itu sangat bagus sekali," jelas Syarief.
Baca juga: AHY Tegaskan Demokrat Sudah Move On, Ajak Kader Songsong Peluang Penuh Harapan
Sementara itu, politikus PDIP, Deddy Yevri Sitorus, mengakui jika partainya tengah membangun komunikasi dengan Partai Demokrat dalam rangka penjajakan kerja sama politik.
Deddy menjelaskan, hal itu dilakukan PDIP setelah Demokrat keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
"Sekarang mereka menjomblo, ya wajar dong kalau kita komunikasi. Siapa yang larang, kan gitu," ungkapnya di Jakarta, Kamis (7/9/2023), dilansir Kompas.com.
Menurutnya, kini PDIP sedang melalui berbagai tahapan komunikasi dalam penjajakannya.
Adapun tahapan itu misalnya mulai dari berbagai pertemuan informal hingga komunikasi verbal antar personel pengurus partai.
Kemudian, terkait apakah kedua partai jadi bekerja sama politik, ia menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan Demokrat.
"Ya, mudah-mudahan mulai minggu depan masuk ke tahap-tahap yang lebih serius, harapannya begitu," papar Deddy.
(Tribunnews.com/Sri Juliati/Fransiskus Adhiyuda Prasetia/Suci Bangun DS/Nuryanti)