TRIBUNNEWS.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),Titi Anggraini, mempertanyakan urgensi Mahkamah Konstitusi (MK) jika mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Titi beranggapan, tak ada hal mendesak untuk mengabulkan gugatan tersebut.
Terlebih, kata Titi, gugatan itu tidak mewakili kepentingan orang banyak.
"Saya kira tidak ada (kepentingan orang banyak) karena yang disebut pun hanya satu nama."
"Kemudian, tidak pernah presentasi kepentingan besar, sehingga kita harus merobohkan argumentasi hukum yang dulu pernah dibuat MK terkait dengan kebijakan hukum politik terbuka," kata Titi dalam diskusi bertajuk MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kekuasaan? di Sadjoe Cafe and Resto, Tebet, Jakarta, Minggu (15/10/2023), dilansir Kompas.com.
Baca juga: Demo dan Aksi Seribu Lilin di MK, Hakim Diultimatum Jangan Masuk Angin, Singgung Mahkamah Keluarga
Ia pun berharap MK bisa konsisten dengan putusan gugatan tersebut.
Pasalnya, sebelumnya MK sudah pernah memutuskan gugatan serupa, yaitu Putusan Nomor 15 Tahun 2007 dan Putusan Nomor 58 Tahun 2019.
"Kalau MK konsisten, perkara ini pasti ditolak. Kata MK pengaturan soal usia itu adalah kebijakan pembentuk undang-undang, karena kenapa? Tidak ada isu konstitusional di sana," beber Titi.
"Bahkan, kalau pembentuk undang-undang menetapkan prasyarat usia yang berbeda untuk beberapa jabatan, itupun masih dimungkinkan untuk dilakukan, karena itu adalah kewenangan pembentuk undang-undang," urai dia.
Diketahui, MK bakal menggelar sidang putusan gugatan batas usia capres-cawapres pada Senin (16/10/2023) hari ini, pukul 10.00 WIB.
Akan ada sembilan hakim yang dipastikan hadir dalam sidang hari ini.
Mereka adalah Ketua MK, Anwar Usman; Wakil Ketua MK, Saldi Isra; Hakim Konstitusi, Arief Hidayat; Hakim Konstitusi, Guntur Hamzah; Hakim Konstitusi, Manahan Sitompul; Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic; Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih; Hakim Konstitusi, Suhartoyo; dan Hakim Konstitusi, Wahiduddin Adams.
Pengamat: Bukan Kewenangan MK
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid, menerangkan pada hakiktnya, penentuan batas usia capres-cawapres bukan di tangan MK, melainkan DPR dan Presiden.
Hal ini, kata Fahri, lantaran mengacu pada tata norma hukum.
"Karena persoalan penentuan batas umur terkait persyaratan untuk mengisi jabatan-jabatan publik secara konstitusional yang didasarkan pada berbagai putusan MK telah meletakan kaidah open legal policy' merupakan domain pembentuk UU, yaitu DPR dan presiden," jelas Fahri, Minggu.
Meski demikian, kalaupun Mahkamah Konstitusi nantinya memutus perkara tersebut, Fahri menjelaskan sejumlah kemungkinan putusan yang akan diambil MK.
Apabila mengacu pada ketentuan pasal 57 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan UU RI 7/2020, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2/2021 tentang Tata Beracara dalam perkara pengujian undang-undang, menurutnya ada beberapa kemungkinan serta varian putusan MK dalam perkara tersebut, di antaranya yaitu:
Baca juga: Ribuan Personel Kepolisian Diturunkan untuk Amankan Sidang Putusan Batas Usia di MK
1. Amar putusan untuk pengujian materiil, dalam hal permohonan dinyatakan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan permohonan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12, amar putusan, 'Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima'.
2. Dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan, 'Menolak permohonan Pemohon'.
Kemudian dalam hal pokok Permohonan beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan 'Mengabulkan permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya'.
3. Dalam hal Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil inkonstitusional bersyarat, maka amar putusan adalah Mengabulkan permohonan Pemohon.
4. Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Sementara, jika mencermati perkembangan persidangan MK dalam mengadili perkara batas usia selama ini, sangat potensial akan terjadi dua kemungkinan.
1. MK dalam putusannya akan menurunkan batas usia capres/cawapres dari 40 menjadi 35 tahun.
2. Tetap empertahankan usia 40 tahun namun ditambahkan dengan suatu syarat khusus, yaitu pernah menjabat atau menjadi Kepala Daerah dengan segala konsekuensi konstitusionalnya.
"Kemungkinan kedua adalah tetap mempertahankan usia 40 tahun namun ditambahkan dengan suatu syarat khusus, yaitu pernah menjabat atau menjadi Kepala Daerah dengan segala konsekuensi konstitusionanya," ucap Fahri.
Terkait hal itu, ia menjelaskan, dengan melihat pengalaman putusan-putusan MK sebelumnya, termasuk Mahkamah pernah mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), di mana permohonan diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dengan Nomor 112/PUU-XX/2022.
Amar putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, 'Berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan', bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, 'berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan'.
"Dengan demikian, dapat saja MK membuat putusan dengan corak dan karakter yang demikian itu, sehingga batas usia 40 tahun eksistensi normanya tetap berlaku."
"Tetapi, ditambah keadaan hukum khusus agar dapat menjangkau subjek hukum tertentu," jelas Fahri.
"Segala kemungkinan itu dapat saja terjadi, dan jika itu yang terjadi maka dinamika pada internal Hakim MK akan terbelah, pastinya ada sebagian Hakim MK yang akan mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion."
"Ini tentu merupakan produk analisis saya yang bisa saja terjadi atau tidak juga terjadi," tuturnya.
PKS Minta MK Menolak
Baca juga: Kronologi Gugatan Usia Capres-Cawapres, Berawal dari PSI Minta Batas Usia Diubah jadi 35 Tahun
Ketua Bidang Polhukam DPP PKS, Almuzammil Yusuf, meminta agar MK menolak gugatan batas usia capres-cawapres.
Seperti anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, Almuzammil berpendapat MK wajib konsisten dalam memutuskan suatu perkara yang sudah pernah diputuskan sebelumnya.
"Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian konstitusionalitas syarat usia capres-cawapres akan menguji konsistensi lembaga itu dengan putusan-putusan sebelumnya, khususnya yang berkaitan dengan wilayah open legal policy," kata Almuzammil dalam keterangan kepada wartawan, Senin.
Ia lantas mengutip amar putusan MK No. 15/PUU-V/2007 yang pernah dibacakan terkait syarat usia calon kepada daerah.
Almuzammil menjelaskan dalam putusan di halaman 56, MK menyatakan bahwa UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan.
"Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya."
"Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Putusan yang sama juga berlaku dalam beberapa putusan lain terkait usia minimal-maksimal, seperti terkait komisioner KPK, hakim MK, dan perangkat desa," ujar Anggota Komisi I DPR RI tersebut.
Almuzammil menyebut, jika MK tidak konsisten pada uji materi kali ini, maka akan bermunculan banyak uji materi UU terkait usia.
"Kalau uji materi usia capres-cawapres dikabulkan, MK seakan berubah menjadi positif legislator, yakni pembuat norma hukum, yang harusnya merupakan tugas dan wewenang DPR sebagaimana amanat konstitusi."
"Bukan tak mungkin, usia pensiun TNI, Polri, PNS, ini nantinya dipersoalkan dan menjadi polemik juga ke depannya," urai dia.
Oleh sebab itu, Almuzammil mendesak agar hakim MK dapat bijak dan bersikap negarawan dalam memutuskan perkara usia capres-cawapres.
"Momentum saat ini ialah menjelang Pilpres, sehingga jika dikabulkan, akan menguat dugaan yang negatif kepada MK yang dituduh publik telah ikut bermain politik menjelang Pilpres."
"Padahal, hakim MK adalah satu-satunya hakim yang eksplisit disebut dalam UUD harus memiliki sikap kenegarawanan. Bukan malah ikut 'cawe-cawe' politik 5 tahunan," tandasnya.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Chaerul Umam/Ibriza Fasti, Kompas.com/Rahel Narda)