News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

TKN Minta Komnas HAM Buka Fakta Sejarah Prabowo dan Cerita Penculikan Aktivis 98

Penulis: Gita Irawan
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Acara diskusi terbuka Komnas HAM bertajuk Mengarusutamakan HAM dalam Visi, Misi, dan Program Pasangan Calon (paslon) Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2024 di kantor Komnas HAM RI Jakarta, Rabu (13/12/2023).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munafrizal Manan dari Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka meminta Komnas HAM RI agar membuka fakta sejarah tentang penculikan aktivis 1998 yang selalu dikait-kaitkan dengan nama Prabowo Subianto yang saat itu masih menjadi Danjen Kopassus.

Permintaan ke Komnas HAM itu disampaikan jubir TKN Prabowo-Gibran di acara diskusi terbuka bertajuk Mengarusutamakan HAM dalam Visi, Misi, dan Program Pasangan Calon (paslon) Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2024 di kantor Komnas HAM RI Jakarta, Rabu (13/12/2023).

Satu di antara sejumlah hal yang ditanyakan oleh audiens dalam diskusi tersebut adalah kasus penculikan aktivis 1998.

Audiens mempertanyakan tanggapan calon presiden Prabowo Subianto terkait kasus tersebut yang menyebut pertanyaan calon presiden Ganjar Pranowo tendensius terkait dalam debat Pilpres 2024 yang disiarkan pada Rabu (13/12/2023).

Menjawab hal tersebut, Munafrizal Manan dari Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, merujuk pada wawancara lawas yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta pada 8 Oktober 1998.

Narasumber wawancara tersebut, kata Muanfrizal, adalah Fadli Zon yang saat itu bertindak sebagai Juru Bicara Prabowo Subianto dan Koordinator KontraS saat itu almarhum Munir Said Thalib.

Jejak digital wawancara tersebut, kata Munafrizal, masih ada.

Berdasarkan penelusuran Tribunnews.com, wawancara tersebut masih terdapat di kanal Youtube Fadli Zon.

Baca juga: Debat Panas Anies Vs Prabowo Soal Oposisi: Prabowo Menyentil, Mas Anies, Mas Anies. . .

Ia menjelaskan mau tidak mau, kasus tersebut harus dilihat dari perspektif hukum dan tidak berhenti pada persepsi, spekulasi, atau asumsi.

Apabila dilihat dari perspektif hukum, kata dia, maka kasus tersebut harus dilihat secara keseluruhan.

Faktanya, kata dia, sejak dulu isu tersebut selalu dimunculkan sejak dimulainya hingga saat Pilpres berlangsung.

Baca juga: Audiensi ke KPU, Amnesty International Minta Pelanggaran HAM Berat Masuk di Debat Pilpres

Dengan demikian, dia mengatakan kemunculan isu tersebut ketika momentum Pilpres sudah menunjukkan ada politisasi.

Ia pun mempertanyakan, perihal ada atau tidaknya bukti yuridis atau fakta yuridis untuk melakukan proses hukum selanjutnya terkait kasus tersebut.

Prabowo sendiri, kata dia, dalam debat mengatakan bahwa sikapnya adalah menghormati proses hukum yang berjalan.

Calon presiden nomor urut dua Prabowo Subianto saat menyampaikan visi-misi nya dalam debat capres di KPU, Jakarta Selasa (12/12/2023). (Dokumentasi Tim Media Prabowo Subianto)

"Bahkan sebetulnya kalau pernah ada yang menonton wawancara di SCTV 8 Oktober 1999 yang waktu itu narasumber yang hadir adalah Fadli Zon sebagai juru bicaranya Pak Prabowo, dan Cak Munir," kata Munafrizal.

"Di situ Pak Fadli Zon menyampaikan bahwa mereka lebih senang kalau ini diungkap secara terbuka. Mengapa tidak dilakukan dari awal. Jadi sebetulnya, benar yang dibilang oleh Cak Munir dalam wawancara itu juga," kata dia.

"Pak Prabowo berkepentingan kalau ini dari sejak awal diselesaikan. Sehingga jelas. Tapi kan yang menyelesaikan kan bukan yang bersangkutan. Ada mekanisme proses hukum," sambung dia.

Munafrizal, kemudian mengungkapkan penafsirannya atas pernyataan Munir lainnya dalam wawancara tersebut.

"Cak Munir mengatakan apa yang menimpa Pak Prabowo itu, dijadikan sebagai alat politik san komoditas politik untuk menghantam beliau. Itu kalimatnya seperti itu. Dan memang yang terjadi kemudian sampai sekarang itu," kata dia.

Namun kasus tersebut menghadapi kompleksitas terhadap masalah dan dalam perjalanannya menghadapi komplikasi hukum.

Sehingga, kata Munafrizal, kasus tersebut menjadi seperti labirin.

"Mengapa disebut tendensius? Tidak ada keputusan hukum, kesimpulan hukum, tetapi seolah-olah narasi yang dibuat sudah pasti bersalah dan harus bersalah. Itu sendiri sudah tidak adil. Padahal asas praduga tidak bersalah itu menjadi bagian dari hak asasi manusia," kata dia.

M Choirul Anam dari Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang hadir dalam diskusi tersebut memandang ada satu persoalan yang serius. Persoalan yang serius.

Menurutnya, Prabowo juga punya memiliki kepentingan soal kepastian hukum terkait kasus tersebut.

Baca juga: Ganjar Cecar Prabowo Soal Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Jika Jadi Presiden

Selain itu, kata dia, publik juga memeiliki kepentingan soal kepastian hukum tersebut. "Tidak cukup dengan komitman komitmen kita akan selenggarakan pengadilan HAM maupun KKR," kata Anam.

"Untuk mengukur komitmen sebenarnya yang bisa jawab adalah Komnas HAM. Salah satu indikatornya sederhana kalau di Komnas HAM ini. Apa? Dicek. Kalau dipanggil Komnas HAM untuk penyelidikan pelanggaran HAM datang nggak? Kalau nggak datang ya berarti nggak komitmen," sambung dia.

Menurutnya, Komnas HAM perlu membuka sejarah ketika proses penyelidikan tersebut berlangsung.

"Kalau sampai dipanggil nggak datang berarti nggak komitmen. Kalau sekarang kampanye-kampanye komitmen itu berarti nggak benar," kata dia.

Baca juga: Teknologi AI Menganalisis Kiprah Anies Prabowo dan Ganjar Berebut Atensi Netizen, Begini Hasilnya

"Karena awalan ngomong soal pelanggaran HAM yang berat adalah komitmen mendatangi mekanisme di Komnas HAM, ketika dipanggil, biar masalahnya terang benderang," sambung dia.

Menurutnya, pemanggilan Komnas HAM adalah forum pengakuan pembelaan terhadap diri yang bersangkutan.

Anam memandang sejarah tersebut bisa digunakan untuk mengukur komitmen para pihak terkait terhadap hak asasi manusia.

"Sehingga tidak menjadi tendensi politik kalau bahasa di debat. Tidak menjadi nuansa politik kalau dalam ruang politik yang setiap lima tahunan," kata dia.

Acara diskusi tersebut berlangsung dua jam.

Turut hadir pimpinan Komnas HAM, Antropolog UI Suraya Afiff selaku panelis dan Ketua SETARA Institute selalu panelis, serta para perwakilan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini