Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) diprediksi bakal menangani banyak sengketa hasil pemiluhan umum pada Pemilu Serentak 2024 (Pileg, Pilpres dan Pilkada).
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyoroti hasil putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang melarang hakim Anwar Usman ikut mengadili perkara berkaitan dengan pemilu.
Putusan MKMK tersebut imbas Putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres atau cawapres, dimana Anwar Usman yang kala itu merupakan Ketua MK diduga memuluskan langkah keponakannya sekaligus putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka maju di Pilpres 2024.
Dengan adanya putusan MKMK tersebut, artinya MK akan menangani seluruh perkara sengketa hasil pemilu dengan mengandalkan komposisi 8 hakim.
Bivitri menilai, kinerja MK menangani seluruh perkara terkait pemilu akan terpengaruh dengan hanya mengandalkan 8 hakim.
"Berarti sebenernya MK itu tidak fullspeed jadi pincang lah, biasanya 9 jadi 8 itu saja menurut saya pasti sudah mempengaruhui proses. Menurut saya itu yang akan kita harus perhatikan," kata Bivitri, saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat (5/1/2024).
Menurutnya, Anwar Usman lebih baik mengundurkan diri dari jajaran hakim MK, agar nantinya dapat digantikan dengan sosok lain yang dapat melengkapi komposisi sembilan (9) hakim, seperti yang seharusnya.
"Khusus untuk Pak Anwar Usman sendiri udah enggak ada pengaruhnya nih (dalam perkara terkait pemilu). Sebenarnya yang kita butuhin dari Pak Anwar Usman adalah dia mundur. Supaya nanti balik lagi 9 (hakim), fullspeed lagi kinerja, mudah-mudahan membaik lagi. Tapi kan itu tidak dilakukan (Anwar Usman," kata Bivitri.
Baca juga: Gibran Buat Cak Imin Mati Kutu, KPU Minta Capres Beri Penjelasan Jika Ada Istilah Asing saat Debat
Meski demikian, ia mengatakan, secara legalitas MK masih tetap dapat menangani perkara sengketa pemilu dengan hanya mengandalkan 8 hakim yang ada.
"Secara legalitas sih enggak terganggu secara legalitas memang bisa 8, karena itu putusan MKMK, toh. Secara kinerjanya (MK) itu yang mesti kita soroti," kata Bivitri.