Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memberikan skor 4 dari 10 bagi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Skor itu diberikan terkait dengan lemahnya fungsi Pengawasan Pemilu yang dijalankan.
"4-lah. Ya menurut saya sangat lemahlah," kata Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil memberikan skor mengenai pengawasan yang dilakukan Bawaslu saat ditemui usai acara Catatan Awal Tahun Perludem, Minggu (14/1/2024).
Di antara hal-hal yang menjadi penilaian, yaitu tak ditindak lanjutinya temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai transaksi mencurigakan para peserta Pemilu.
Padahal untuk menindak lanjuti temuan tersebut, Bawaslu dinilai dapat menyinkronkannya dengan PPATK sebagai sesama lembaga negara.
Alih-alih menyampaikan dibatasi oleh regulasi, mestinya lembaga pengawas Pemilu tersebut mencari jalan keluar untuk mengatasinya.
"Kalau ada hambatan regulasi ya bukan mengeluh ke publik. Tapi mestinya mereka bicara apa yang akan mereka lakukan untuk mengatasi hambatan regulasi," kata Fadli.
Tak hanya dana kampanye, lemahnya pengawasan juga dilihat dari pelanggaran penggunaan alat peraga kampanye (APK), misalnya karena ditempelkan ke fasilitas publik.
Kemudian Perludem juga menyoroti dugaan pelanggaran yang dilakukan peserta Pemilu dengan memanfaatkan iklan media massa sebelum waktunya.
"Beberapa iklan pasangan calon presiden dan partai politik di media televisi itu kan belum boleh, tapi enggak ada respon dari Bawaslu," ujarnya.
Menurut Fadli, Bawaslu dalam hal ini memiliki kewenangan yang kuat dan didukung sumber daya yang cukup.
Kewenangan itu berupa penganganan pelanggaran administrasi, pidana, sengketa, bahkan sampai mendiskualifikasi peserta Pemilu.
"Kita berhadapan pada situasi Bawaslu yang sangat lemah. Saya tidak tahu lemahnya Bawaslu ini disebabkan oleh apa. Tapi kalau dilihat dari segi kerangka hukum kewenangan, sumber daya, baik itu dana dan aparatur, itu sudah sangat lebih dari cukup," kata Fadli.
Selain lemahnya fungsi pengawasan, profesionalitas dan kemandirian Bawaslu juga menjadi sorotan.
Tidak hanya Bawaslu, lembaga lain terkait kepemiluan pun diberi sejumlah catatan dalam hal profesionalitas dan kemandiriannya, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Salah satu yang paling serius sih soal profesionalitas dan kemandirian penyelenggara Pemilu. Ada banyak hal yang perlu dicatat, diperingatkan secara serius kepada KPU dan Bawaslu," ujarnya.
Catatan pertama terkait KPU, yakni konsistensi dalam menyikap putusan Mahkaham Konstitusi (MK) mengenai calon peserta Pemilu mantan narapidana dan syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Perludem: Bawaslu Harus Tindak Lanjuti Temuan PPATK Soal Dugaan Transaksi Janggal Peserta Pemilu
Kemudian KPU juga dinilai abai terhadap putusan Mahkamah Agung mengenai 30 persen keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) dalam pencalonan anggota legislatif.
"KPU secara terang-terangan tidak patuh terhadap putusan Mahkamah Agung yang sudah memerintahkan agar konsisten dengan ketentuan Undang-Undang Pemilu yang mengharuskan 30 persen perempuan di setiap dapil. Sampai sekarang itu tidak diubah oleh KPU," katanya,
Catatan lainnya, kontroversi KPU terkait verifikasi partai politik (parpol) calon peserta Pemilu pada tahun lalu.
"Ada banyak dan beberapa informasi dari beberapa wilayah dan sebagian besarnya juga sudah dilaporkan DKPP tentang ada parpol yang tidak memenuhi syarat, tapi dipaksakan memenuhi syarat," kata Fadli.
Ketidak patuhan KPU terhadap peraturan yang berlaku pun sampai ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Hasilnya, Ketua KPU, Hasyim Asy'ari dijatuhi sanksi etik berupa peringatan keras terakhir kalinya sebanyak dua kali.
"Bayangkan, ada sanksi peringatan keras terakhir kali, tapi dijatuhkan 2 kali. Ketua KPU itu kan sudah mendapat sanksi peringatan keras terakhir kalinya sebanyak 2 kali," ujarnya.
Sedangkan terkait DKPP sendiri, catatan diberikan terkait keanggotaannya. Sebab di antara anggota DKPP, terdapat orang yang sebelumnya tidak lulus seleksi menjadi penyelenggara Pemilu.
Hal itu dinilai Perludem mempengaruhi kredibilitas lembaga pengawas etik para penyelenggara Pemilu tersebut.
"Salah satu kontroversinya adalah, kenapa orang-orang yang tidak lulus di penyelenggara Pemilu malah menjadi anggota DKPP. Ada juga anggota KPU provinsi yang menjadi DKPP. Ada banyak pertanyaan soal kredibilitas, penerimaan publik, penerimaan penyelenggara pemilu thd komposisi anggota DKPP," katanya.
Pada akhirnya, Perludem menilai bahwa tantangan Pemilu 2024 ini tak hanya berkisar pada permasalahan para pesertanya saja.
Baca juga: Gibran Persilakan Bawaslu Dalami Dugaan Kepala Desa Hadir Saat Kampanye di Maluku
Permasalahan terkait kepemiluan juga terdapat pada tubuh para penyelenggaranya.
"Pemilu 2024 tantangannya tidak hanya dari peserta saja. Tapi juga dugaan dari penyelenggara Pemilu: DKPP, KPU, Bawaslu," kata Fadli.