TRIBUNNEWS.COM - Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka menyinggung soal adanya demo rompi kuning di Prancis dalam debat cawapres, Minggu (21/1/2024) tadi malam.
Hal ini disampaikannya saat sesi tanya jawab dengan cawapres nomor urut 3, Mahfud MD terkait greenflation.
Gibran mengatakan demo rompi kuning di Prancis itu disebabkan oleh greenflation.
“Namanya greenflation, kita kasih contoh yang simpel aja, demo rompi kuning di Prancis, bahaya sekali, sudah memakan korban. Harus kita antisipasi, kita belajar dari negara maju.”
“Negara-negara maju aja masih ada tantangan-tantangannya,” kata Gibran saat debat cawapres di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat.
Selengkapnya berikut kronologi pecahnya demo rompi kuning di Prancis akibat greenflation.
Dikutip dari pernyataan Direktur Ekskutif European Central Bank, Isabel Schnabel kepada New York Times, greenflation merujuk pada kenaikan harga dan krisis tenaga kerja buntut adanya transisi teknologi ramah lingkungan.
Isabel mengatakan, bahwa salah satu dampak dari greenflation ini adalah pecahnya demo rompi kuning di Prancis pada 2018.
Adapun demo ini terjadi di hampir seluruh kota di Prancis dalam rentang 17 November 2018-5 Januari 2019.
Dikutip dari Reuters, demo rompi kuning ini muncul akibat rencana Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang bakal menaikan pajak bahan bakar minyak (BBM) sebesar 20 persen.
Macron mengatakan rencana ini bakal terealisasi pada 1 Januari 2019.
Pada saat itu, orang-orang berdemo dengan memakai rompi berwarna kuning sebagai wujud protes rencana Emmanuel Macron tersebut.
Menurut warga Prancis, rencana Macron tersebut semakin menekan anggaran rumah tangga bagi kelas menengah dan bawah.
Selama hampir dua bulan protes dilakukan, pekan pertama menjadi momen paling krusial bagi Prancis lantaran hampir 300 ribu warga Prancis turun ke jalan melakukan protes.
Namun, pada akhir pekan kedua demo dilakukan, para demonstran mulai memperoleh kekerasan dari aparat.
Para polisi di ibu kota Prancis, Paris sampai menggunakan gas air mata, meriam air atau water canon, dan pasukan berkuda untuk menghalau demonstran.
Akibatnya, para demonstran pun melakukan aksi anarkis dengan melempar proyektil, membakar mobil di jalan, dan menjarah pertokoan.
Bahkan, kericuhan pada pekan kedua ini merupakan bentrok terparah yang pernah terjadi di Paris sejak kerusuhan mahasiswa pada tahun 1968.
Adapun insiden kericuhan ini dilaporkan mengakibatkan 12 orang meninggal dunia.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Prancis, Bruno Le Maire mengatakan aksi massa selama hampir tiga bulan ini memukul ekonomi di Prancis secara keseluruhan, dikutip dari Aljazeera.
“Beberapa keuntungan di beberapa sektor ekonomi anjlok antara 15-50 persen,” katanya tanpa menjelaskan lebih lanjut terkait persisnya.
“Dampak ini akan terus terjadi,” sambung Le Maire saat itu.
Tak sampai di situ, perusakan oleh massa pun turut mengakibatkan 75 SPBU di Paris mengalami keterlambatan penyaluran BBM lantaran diblokade oleh demonstran.
Akibatnya, salah satu perusahaan minyak Prancis, Total mengaku mengalami kerugian operasional mencapai 453 juta dolar AS.
Pemerintah Prancis Tunda 6 Bulan Naikan Pajak BBM
Demonstrasi besar-besaran ini menyebabkan Pemerintah Prancis menunda untuk menaikan pajak BBM pada 1 Januari 2019 dalam jangka waktu enam bulan.
Tak hanya itu, pemerintah Prancis juga melakukan penundaan untuk menaikan harga LPG dan listrik selama tiga bulan.
Kemudian, tingkat kepuasan pemerintahan Macron pun mencapai titik terendah akibat rencana kebijakannya untuk menaikan pajak BBM tersebut, menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Paris Match dan Sud Radio.
“Tingkat kepuasan terhadap Macron turun menjadi 23 persen dalam jajak pendapat yang dilakukan pekan lalu, turun enam poin dari bulan sebelumnya,” demikian temuan dari lembaga tersebut.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Pilpres 2024