TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut menteri dan presiden boleh berkampanye.
Jokowi mengatakan, setiap orang di negara demokrasi memiliki hak politik.
Dengan demikian, menurut Jokowi, presiden juga boleh memihak dalam Pemilu atau Pilpres.
"Presiden itu boleh loh kampanye, boleh loh memihak. Boleh," ujarnya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024).
"Boleh, kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, masa gini enggak boleh gitu enggak boleh, boleh menteri juga boleh," papar Jokowi.
Namun, lanjut presiden, yang paling penting adalah saat berkampanye tidak menggunakan fasilitas negara.
"Itu saja yang mengatur, itu hanya tidak boleh menggunakan fasilitas negara," jelas Jokowi.
Pernyataan Jokowi yang menyebut presiden boleh memihak kepada calon tertentu, menuai tanggapan dari sejumlah pihak.
Dosen Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi Kusman, mengkritisi pernyataan Jokowi.
Selain itu, pernyataan Jokowi juga menuai tanggapan dari Wakil Ketua Umum DPP PKB, Jazilul Fawaid.
Bisa Memunculkan Persoalan Etik Serius
Baca juga: Perludem Minta Jokowi Cabut Pernyataannya soal Presiden Boleh Berpihak dan Kampanye: Terlalu Dangkal
Airlangga Pribadi Kusman menilai, secara umum presiden boleh-boleh saja melakukan endorsement salah satu pasangan calon (paslon).
Dirinya lalu mencontohkan yang terjadi di Pilpres Amerika Serikat (AS) pada 2016 silam.
"Sebagai contoh misalnya Barack Obama pernah melakukan endorsement kepada kandidat (calon) presiden kepada Hillary Clinton saat melawan Donald Trump dalam Pilpres di AS tahun 2016," ungkapnya, Rabu.
Namun, menurutnya, konteks Pilpres di Indonesia berbeda ketika proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi, menjadi cawapres terjadi masalah etika politik.