News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Para Pegiat Hukum Desak Jokowi Cabut Pernyataan Presiden Boleh Kampanye

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara penyerahan bantuan kepada petani gagal panen di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah pada Selasa (23/1/2024). Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) mengkritik pernyataan Presiden Jokowi mengenai presiden boleh berkampanye.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) mengkritik pernyataan Presiden Jokowi mengenai presiden boleh berkampanye.

Perwakilan CALS sekaligus Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai, pernyataan Jokowi bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya yang menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral.

Seperti diketahui, putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.

"Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum. Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden," kata Bivitri, dalam keterangannya, pada Rabu (24/1/2024).

Padahal, Bivitri menjelaskan, harus disadari seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu kita berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur, dan Adil, (Luber dan Jurdil) bila aktif berkampanye, sebagaimana diamanatkan Pasal 22E UUD 1945.

Sebab, ia mengatakan, pejabat negara (presiden, menteri, kepala-kepala daerah), akan bisa mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal, yakni fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat serta pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih. 

Baca juga: Jokowi Panen Kritikan Usai Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak

Bivitri menilai, keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

"Perlu dibedakan antara 'berpolitik' dan 'berkampanye'. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye," ungkapnya.

Menurutnya, perdebatan bisa dilakukan terhadap bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu. Namun, UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945, yaitu Luber Jurdil dengan penekanan pada aspek keadilan.

UU Pemilu mengandung banyak kelemahan karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik.

Sedangkan, tambahnya, nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta 'cawe-cawe' politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.

"Pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 " jelasnya.

Lebih lanjut, kata Bivitri, seharusnya sebagai presiden, Jokowi harus membiarkan semua berproses sesuai aturan main yang ada, tanpa perlu membuat pernyataan yang membenarkan perilaku yang melanggar etik dan hukum. 

"Biarkan lembaga-lembaga yang berwenang menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang, presiden tidak patut membuatkan justifikasi apapun, termasuk bagi dirinya sendiri," ucapnya.

Baca juga: Airlangga soal Jokowi Bilang Presiden Boleh Memihak dan Kampanye: Hak Konstitusional

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini