Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, menyebut pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal presiden boleh kampanye dan memihak sebagai bentuk pengingkaran.
Baginya, eks Gubernur DKI Jakarta itu tidak boleh mengucapkan hal tersebut.
"Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa Presiden boleh kampanye memihak kepada paslon sangat merisaukan karena pernyataan ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap sifat-sifat netral yang melekat pada diri Presiden yang juga bertindak sebagai kepala negara," ucap Todung dalam konferensi pers di media center Ganjar-Mahfud, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Sebagai presiden dan kepala negara, kata Todung, Jokowi harus berada di atas semua kelompok, golongan, suku, agama dan partai politik.
Ketika seseorang dipilih sebagai presiden, maka kesetiaannya menjadi kesetiaan terhadap negara, rakyat tanpa mebeda-bedakan mereka.
Baca juga: TPN Sebut Sentimen Negatif Kepada Jokowi Capai Minus 96 Persen Usai Bilang Presiden Boleh Kampanye
Dijelaskan Todung, UUD 1945 mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensi logis dari negara hukum adalah semua tindakan dan ucapan Presiden harus sesuai dengan hukum.
"Presiden tak boleh melakukan diskriminasi dalam menjalankan tugasnya. Jadi, adalah aneh jika Presiden mengatakan bahwa Presiden boleh kampanye dan memihak, sebagaimana juga Menteri boleh memihak. Yang dilarang adalah kampanye dengan menggunakan fasilitas negara," katanya.
"Harap dicatat bahwa selama ini tidak pernah ada pernyataan Presiden seperti yang diucapkan oleh Presiden Jokowi dalam setiap pemilihan umum dan pilpres," sambungnya.
Ia menuturkan bahwa Presiden Jokowi juga bersumpah sebelum menjalankan tugasnya sebagai Presiden.
Baca juga: Tim Hukum AMIN Bakal Laporkan Jokowi ke Bawaslu Soal Presiden Boleh Memihak
Yakni antara lain dalam sumpah itu Presiden berjanji akan melaksanakan konstitusi dan hukum.
"Kalau Presiden tak melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku maka bisa saja hal ini ditafsirkan sebagai perbuatan tercela. Dan kalau ini disimpukan sebagai perbuatan tercela maka ini bisa dijadikan sebagai alasan untuk pemakzulan," katanya.
Ia pun mengungkit UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang menekankan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil atau luber dan jurdil.
"Kalau membaca pasal 1-2 UU Pemilu yang menggarisbawahi pemilu yang luber dan jurdil maka pernyataan Presiden yang menyatakan Presiden bisa kampanye dan memihak, maka pemilu dan pilpres tak akan mungkin lagi bersifat jurdil," ungkapnya.
"Bukankah Presiden mempunyai kekuasaan dan wibawa kekuasaan yang sangat besar yang bisa mengarahkan dan mempengaruhi pemilu dan pilpres sehingga merusak dan menegasiklan asas pemilu yang jurdil?" tukasnya.