TRIBUNNEWS.COM - PP Muhammadiyah menyatakan sikapnya atas pernyataan Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut presiden boleh memihak dan ikut kampanye.
Pernyataan Jokowi itu menjadi perbincangan publik karena sebelumnya sang presiden meminta agar aparatur sipil negara (ASN) dan pejabat publik netral dalam gelaran Pilpres 2024.
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, mendesak Jokowi untuk mencabut pernyataan keberpihakannya tersebut.
Pasalnya, menurut Trisno, pernyataan Jokowi ini tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif saja.
Namun, juga harus dilihat dengan optik yang lebih luas, seperti sudut pandang filosofis, etis, dan teknis.
Trisno menyebut, dari sudut pandang normatif, memang benar Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk melaksanakan kampanye.
Namun, pasal tersebut tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.
Menurut Trisno, pelaksanaan kampanye ini harus dipandang bukan hanya sekadar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan juga harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat sesuai Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.
“Pernyataan Jokowi bahwa presiden dibenarkan secara hukum untuk berkampanye dan berpihak merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan pemilu itu sendiri,” papar Trisno, dilansir WartakotaLive.com, Minggu (28/1/2024).
Kemudian dari sudut pandang filosofi, presiden sebagai kepala negara memiliki tanggungjawab moral dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk pemilu.
Untuk itu, kata Trisno, presiden wajib memastikan terlaksananya Pemilu yang berintegritas.
Baca juga: Jokowi-AHY Bertemu di Yogyakarta, Demokrat: Bahas Situasi Politik Terkini
“Sebuah jabatan publik terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi, pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu, sehingga seharusnya, memang tidak ada aktivitas lain selain yang melekat pada jabatannya,” terang Trisno.
Selanjutnya, dari sudut pandang etis dan teknis, sambung dia, sumpah jabatan penyelenggaraan negara, termasuk presiden adalah setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
Kesetiaan itu harus diwujudkan dalam segala kegiatannya, meskipun presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi presiden.