Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga menyoroti penyalahgunaan masa tenang pemilu di Indonesia.
Masa tenang Pemilu 2024 dimulai pada hari ini, Minggu (11/2/2024) hingga 13 Februari 2024.
Jamil mengatakan, masa tenang diperlukan bagi pemilih agar dapat merenungkan caleg dan capres yang layak dipilih.
Ia menambahkan, perenungan itu diperlukan setelah para pemilih mendapat gambaran visi dan misi dari capres dan caleg. Gambaran tersebut idealnya menjadi dasar bagi pemilih untuk menetapkan capres dan caleg yang akan dipilih.
Menurut Jamil, hal itu umumnya dilakukan pemilih rasional. Mereka menetapkan pilihan setelah mengetahui visi dan misi capres dan caleg.
"Sayangnya pemilih rasional tidak banyak di Indonesia. Justru yang dominan di Indonesia dari kelompok pemilih emosional," kata Jamil, saat dihubungi Tribunnews.com, pada Minggu siang.
"Kelompok pemilih ini memilih capres dan caleg bukan karena visi dan misinya. Mereka memilih semata karena pertimbangan kedekatan emosional," sambungnya.
Sehingga menurutnya, masa tenang yang disediakan tidak digunakan untuk merenungkan kelayakan capres dan caleg.
Hal itu disebabkan, sebagian dari kelompok pemilih emosional itu umumnya sudah menetapkan pilihannya jauh sebelum masa tenang.
Bahkan, Jamil mengungkapkan, sebagian lainnya dari kelompok pemilih emosional ini juga sangat pragmatis. Mereka kerap menjadi sasaran dari capres dan caleg tertentu untuk memilihnya.
"Umumnya yang dilakukan dengan serangan fajar. Jadi masa tenang justru menjadi ajang transaksi untuk memperoleh suara. Situasi seperti inilah yang harus diawasi Bawaslu, agar masa tenang tidak terjadi politik uang," jelas Jamil.
Lebih lanjut, Jamil menyoroti masa tenang kerap dimanfaatkan untuk kepentingan capres dan caleg.
Penyalahgunaan ini, menurnya, harus diditeksi oleh Bawaslu RI agar Pilpres dan Pileg tetap berlangsung jujur dan adil tanpa adanya politik uang.
Sebagai informasi, selama masa tenang, pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk:
1. Tidak menggunakan hak pilihnya
2. Memilih pasangan calon
3. Memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu
4. Memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota tertentu
5. Memilih calon anggota DPRD tertentu
SANKSI PELANGGAR MASA TENANG
1. Pasal 509 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
2. Pasal 523 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
3. Pasal 492 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).