TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lawan Pemilu Curang, demikian bunyi spanduk tertulis dengan cat berwarna merah di atas selembar kain kafan sepanjang dua meter.
Spanduk tulisan tangan itu menjadi background dalam sebuah diskusi yang digelar para aktivis lintas generasi yang tergabung dalam Jaringan Aktivis Ciputat Bersatu (Jaga C1), Minggu (18/2/2024) di Ciputat, Tangerang Selatan.
Baca juga: Jokowi Bertemu Surya Paloh, PDIP: Demokrasi dalam Masalah Besar
Kordinator Jaga C1, Lukman Azis mengaku prihatin dengan kondisi pemilu 2024 yang menunjukkan kemunduran demokrasi. "Ini jadi pemilu paling rusak sejak Reformasi," ujar mantan Presidium KAHMI Rayon Cireundeu Ciputat ini.
Indikasi tersebut, lanjut mantan aktivis 98 itu, tampak dari kecurangan yang demikian masif terjadi.
"Pertama, seperti disampaikan Bawaslu ribuan kasus intimidasi terhadap pemilih terjadi di banyak TPS di seluruh Indonesia, kedua penggunaan bansos yang nilainya hingga lebih dari 500 triliun diduga dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye memenangkan salahsatu kandidat peserta pemilu 2024, ketiga ASN, Kepala Desa, TNI/Polri hingga presiden dinilai tidak netral dan cenderung berpihak, keempat kekacauan data yang cukup masif antara form C1 dan aplikasi Sirekap yang dijadikan alat penyampai hasil perolehan suara di TPS ke masyarakat serta terakhir keputusan KPU yang cacat hukum dalam penerimaan kandidat pasangan capres dan cawapres yang jelas terbukti melanggar etika," ungkap Lukman.
Karenanya ia mengajak masyarakat, mahasiswa terus Kampanyekan Lawan Pemilu Curang dimanapun dan kapanpun. "Buat Tagar Lawan Pemilu Curang semasif mungkin," tuturnya.
Baca juga: Mahfud: Apa Pun Hasil Pilpres, Saya akan Terus Berjuang untuk Demokrasi dan Keadilan
Mantan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang juga aktivis 98, Ray Rangkuti dalam kesempatan yang sama mengingatkan agar perlawanan terhadap pelaksanaan pemilu 2024 yang sarat dengan kecurangan terus di gaungkan oleh semua pihak yang masih peduli terhadap masa depan demokrasi Indonesia. "Nggak ada kata lain kecuali menolak Pemilu Curang 2024," tegasnya.
Alumni PMII Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Mukhsin mengungkapkan kekhawatirannya akan lahir orde baru jilid 2 bila pemilu ini tetap dilanjutkan dengan kecacatan yang begitu masif.
"Sikap ini adalah bentuk keprihatinan kami terhadap situasi politik yang berkembang saat ini," tuturnya.
Mantan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 98, Abba Taher Lamatapo dalam kesempatan itu juga menyampaikan pandangannya yang mendesak agar peserta pemilu segera mengajukan gugatan dan kumpulkan bukti untuk dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sedangkan partai politik dan seluruh elemen masyarakat bersama-sama mendesak dilakukan hak angket kepada presiden terkait banyaknya pelanggaran pemilu dan dugaan ketidaknetralan presiden serta para pembantunya dalam pemilu 2024," kata pria kelahiran Flores Nusa Tenggara Timur tersebut.
Ia juga mendesak legislatif untuk meminta pertanggungjawaban Presiden terkait penggunaan anggaran bansos yang diduga dimanfaatkan dalam kegiatan kampanye salahsatu pasangan calon.
Penegasan serupa juga disuarakan Tety Muhithoh, aktivis majelis taklim dan mantan aktivis 98. "Bila kecurangan yang masif, sistematis dan terstruktur dilakukan saat pemilu ini dimenangkan, maka akan menjadi preseden buruk untuk bangsa indonesia kedepan. Ini melemahkan karakter bangsa dari level atas sampai bawah," ujarnya.
Baca juga: Jokowi: Jangan Teriak Curang, Kalau Ada Bukti Bawa ke Bawaslu, Bawa ke MK
Tety menilai negara ini mulai dari penguasa sampai akar rumput sedang terjangkit degradasi moral etika yg memprihatinkan. "Jika dibiarkan maka negara ini akan berlaku hukum rimba. Siapa kuat itu yang bertahan," ujarnya.
Aktivis dan pendiri pers mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta, Rio Sumantri menganggap pemilu 2024 sangat menyedihkan sekaligus memalukan buat bangsa di mata dunia. "Matinya demokrasi di mulai tahun ini seiring diloloskannya kandidat capres dan cawapres yang melanggar etika dalam kancah pemilu 2024," ungkapnya.
Ia berharap para genzi dan Milenial (istilah untuk kaum muda saat ini) untuk melek politik. "Yang mau berkuasa ini titisan orang Orba. Media telah melabelkan pasangan capres ini sebagai anak haram konstitusi. Selain itu kabar terbaru KPU kita nilai unprofesional karena untuk kebutuhan support IT-nya tidak mempergunakan server dalam negeri tapi justru dari Singapura," tegasnya.
Aktivis 98 yang juga mantan Ketua Teater Tonggak LSMI HMI Cabang Ciputat, Neti Hernawati mengajak masyarakat, mahasiswa dan aktivis pro demokrasi untuk mengawal penyelenggaran pemilu yang Jurdil dan tanpa rekayasa.
"Aktivis Pro Demokrasi juga harus berani mengoreksi dan menyuarakan kesalahan input Form C1 Plano terutama karena ada indikasi penggiringan opini terhadap hitung suara manual mengikuti angka-angka yang ditampilkan dalam Sirekap. Karenanya saya mendesak hentikan Sirekap karena menyesatkan," tegasnya.
Sedangkan akademisi yang juga aktivis perempuan dalam pergerakan 98, Dinda Syariyuniska mengajak seluruh civitas akademika berbagai perguruan tinggi lebih tajam menyoroti kecurangan pemilu 2024. "Sebagai kaum intelektual harus lebih tegas atau akan kembali dibungkam seperti era orde baru dulu," katanya.
Aktivis asal Papua yang turut hadir dalam pernyataan sikap tersebut, Lamadi De Lamato mengharapkan para aktivis jangan berfikir kepentingan sesaat yang dapat merugikan bangsa ini kedepan.
"Hanya karena cari 'aman', lalu kekritisan hilang. Kekuasaan tetap harus dikontrol. Apalagi bila kekuasaan itu diperoleh dengan cara curang dan menghalalkan segala cara," ujarnya.
Sedangkan mantan Ketua Umum HMI cabang Ciputat, Yudi Ali Akbar melihat beberapa temuan kecurangan sepertinya memang direncanakan. "Melihat hasil penghitungan di TPS dengan yang tertera pada situng di KPU banyak sekali yang tidak sesuai. Karena itu kami menolak situng atau sirekap termasuk QC (Quick Count) yang dilakukan lembaga-lembaga survey, lakukan penghitungan ulang secara terbuka dan lebih transparan," pinta aktivis yg kini merupakan akademisi salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta tersebut.
"Kecurangan ini tidak boleh dibiarkan. Karena akan membuat hilangnya kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintahan yang terbentuk," katanya.
Karenanya lanjut Yudi, jangan salahkan kalau masyarakat akan bertindak dengan caranya sendiri seperti yang terjadi tahun 1998.