Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah untuk memitigasi kematian Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dinilai masih belum sepenuhnya berhasil.
Stres hingga beban kerja masih menjadi salah satu kendala.
Selama proses rapat dengan DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan batas usia, berkerja sama dengan institusi kesehatan, mengadakan bimbingan teknis, hingga menaikan honor untuk memitigasi kematian KPPS.
Pengamat sekaligus pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini mengatakan terobosan itu diharapkan bisa mengurangi potensi risiko petugas yang sakit atau meninggal di lapangan.
"Namun ternyata masih banyak kendala yang didominasi masalah teknis yang kemudian memicu petugas meninggal atau sakit," kata Titi saat dikonfirmasi, Selasa (20/2/2024).
Baca juga: Anggota KPPS di Cilegon Banten Meninggal Dunia Tadi Pagi
Selain perkara teknis, penghitungan secara manual atas lima surat suara pemilu juga merupakan beban kerja yang disebut Titi berat dan butuh waktu lama untuk diselesaikan.
Adapun perkara teknis itu sudah terjadi jauh sebelum hari pemungutan suara melainkan sejak proses distribusi logistik seperti surat suara yang terlambat, kurang, serta tertukar antar-daerah pemilihan (dapil) yang membuat KPPS harus menunggu dan menghabiskan waktu lebih lama.
"Selain itu, ada mesin pengganda yang tidak berfungsi membuat para petugas harus menyalin manual Salinan C.Hasil yang harus diberikan kepada setiap saksi, pengawas TPS, dan PPK melalui PPS yang hadir pada hari yang sama," jelasnya.
"Penyalinan itu makan waktu lama bahkan hingga subuh atau pagi hari berikutnya. Selain itu, mesin pengganda mengalami masalah dan kendala dalam pengoperasiannya dan membuat penyalinan menjadi terlambat dan menghambat penyelesaiannya," tambah Titi.
Kompleksitas teknis itu masih menjadi beban kerja KPPS. Sehingga, Titi mendesak KPU untuk mengevaluasi model keserentakan pemilu saat ini.
Ia mengaku, sejak awal, proses pemilu harusnya dibagi menjadi dua, antara pemilu serentak nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR, dan DPD serta pemilu serentak lokal untuk memilih kepala daerah dan wakil kepa daerah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
"Kami menilai desain keserentakan seperti itu lebih cocok untuk Indonesia dengan jeda dua tahun mempertimbangkan waktu seleksi penyelenggara pemilu," pungkasnya.